Perjalanan rumah-kantor-rumah hampir selalu diwarnai konvoi moge atau mobil polisi patwal dengan sirine meraung-raung mengawal para pejabat dalam mobil mewah warna hitam nan gagah. Di tengah kemacetan, raungan sirine dan liukan moge polisi itu seolah isyarat agar pengguna jalan yang lain mempersilahkan sang pejabat untuk lewat duluan. Entah sedang terburu-buru hendak kemana pejabat itu, mungkin negara sedang dalam kondisi darurat yang membutuhkan penanganan secepat mungkin. Atau mungkin dia hanya sedang kebelet buang air kecil karena AC mobil mewahnya terlalu dingin (harusnya mobilnya dilengkapi toilet). Atau mungkin yang di dalam mobil itu adalah istrinya yang sedang terburu-buru karena terlambat datang arisan panci. Saat rakyat jelata harus terjebak macet, dia bisa melaju dengan lancar jaya sambil mengatakan: “Emang enak jadi rakyat jelata…”. Saat orang lain berdesak-desakan dalam kereta dan bis kota, dia bisa ongkan-ongkang kaki di dalam kabin mobil mewahnya.
Betapa nikmatnya hidup pejabat itu.
Tapi hidupku juga nikmat, bahkan jauh lebih nikmat.
Naik motor butut pemberian orang tua dari jaman SMA,teriring rasa sayang dan doa semoga motor ini bisa mengantarkan menuju kesuksesan, yang bahan bakarnya dibeli dari hasil nguli, rasanya jauh lebih nikmat daripada mobil mewah pinjaman -yang sudah dianggap milik sendiri- yang dibeli dengan uang rakyat yang begitu murah hati yang sekaligus membelikan bahan bakarnya. Bahkan naik sepeda reotku jauh lebih menyenangkan. Paling tidak untuk menembus kemacetan, tak perlu jasa para pengawal.
Mobil mewah dan pengawalan khusus anti macet itu hanyalah segelintir fasilitas yang sudah menjadi konsekuensi sebagai seorang pejabat di Negeri tercinta ini. Masih banyak fasilitas lain yang harus mereka terima dengan bergembira ria dan berfoya-foya. Rumah dinas, tempat parkir khusus di kantor, ruangan kerja yang super besar dengan fasilitas super lengkap, belum lagi gaji besar dan tetek-bengek tunjangan dengan aneka rupa sebutannya. Atau yang lebih remeh temeh semisal fisilitas lift khusus pejabat, yang ukuran dan kapasitasnya sama dengan lift lain tapi hanya boleh memuat orang-orang dengan kriteria tertentu sahaja. Mungkin agar tidak gaptek, para pejabat pun diberikan (baca: meminta, penulis) fasilitas gadget canggih terbaru -yang entah apa kegunaannya dan semoga mereka bisa mengoperasikannya dengan baik dan benar.
Karena di Negeri ini jabatan itu identik dengan fasilitas. Mungkin tanggung jawab yang diemban para pejabat itu sebegitu besarnya sehingga harus dikompensasi dengan setumpuk fasilitas mewah yang sebanding. Tapi toh kenyataannya tidak begitu. Fasilitas melimpah itu tak membuat kinerja mereka jadi lebih baik. Bahkan fasilitas mewah itu tak menghalangi sebagian diantaranya melakukan kecurangan dan kejahatan. Padahal di sisi lain masih banyak rakyat jelata yang hidupnya masih jauh dari kata sejahtera. Bukankah Khalifah Umar bin Khattab menolak makan roti gandum dan lebih memilih roti gersh (yang harganya lebih murah dan rasanya tidak seenak gandum), karena masih ada rakyatnya yang tidak bisa memperoleh gandum.
Dan bukankah tanggung jawab besar sebagai pejabat sudah dikompensasi dengan gaji dan tunjangan yang juga besar. Kalau seorang kuli bisa beli sepeda butut dari hasil menabung gaji, logikanya seorang pejabat bisa beli mobil dari hasil menabung gajinya juga. Kalau sudah begitu tak perlu lah itu mobil dinas. Kalau seorang kuli bisa kredit rumah reot yang cicilannya setengah dari gaji, maka seorang pejabat pun harusnya bisa kredit rumah megah karena sepertiga gajinya pun lebih dari cukup untuk mencicil.
Nampaknya pesan Uncle Ben pada Peter Parker: “Great power comes with great responsibility” tak berlaku disini. Yang ada “Very very great facility comes with not-so-great responsibility”