RSS

Keterkaitan Antara RKA-KL dengan RENSTRA, RENJA, dan BSC

LAPORAN HASIL EVALUASI

KETERKAITAN ANTARA RKA-KL DENGAN RENSTRA, RENJA, DAN BSC

  1. 1.       LATAR BELAKANG

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penyusunan dokumen anggaran, dalam hal ini RKA-KL, adalah pendekatan penganggaran berbasis kinerja.  Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan suatu pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan kinerja yang diharapkan, serta memperhatikan efisiensi dalam pencapaian kinerja tersebut.  Dalam pendekatan ini pengalokasian anggaran berorientasi pada kinerja sehingga diharapkan akan menunjukkan keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja yang ingin dicapai.  Untuk menunjukkan keterkaitan tersebut, pendekatan PBK mensyaratkan adanya indikator kinerja yang merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kinerja.  Khusus untuk lingkup Kementerian Keuangan, sejak tahun 2010 pengelolaan dan pengukuran kinerja di setiap unit Eselon I menggunakan sistem manajemen kinerja berbasis balanced scorecard yang dituangkan dalam sebuah Kontrak Kinerja.

Di samping itu, prinsip utama dalam penerapan PBK ini adalah adanya keterkaitan yang jelas antara kebijakan yang terdapat dalam dokumen perencanaan nasional dan alokasi anggaran yang dikelola Kementerian/Lembaga (KL) sesuai tugas-fungsinya. Dokumen perencanaan tersebut meliputi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Renja-KL. Sedangkan alokasi anggaran yang dikelola KL tercermin dalam dokumen RKA-KL dan DIPA yang merupakan dokumen yang bersifat tahunan. Renja-KL sebagai dokumen perencanaan pembangunan tahunan di lingkup KL merupakan penjabaran dari Renstra-KL yang merupakan rencana pembangunan jangka menengah untuk periode 5 tahun.

Seluruh dokumen tersebut merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan sebuah proses yang sistematis dan terpadu.  Karena sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan sebuah proses yang sistematis dan terpadu, maka seluruh tahapan dan dokumen-dokumen yang dihasilkan harus menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lainnya.  Keterkaitan tersebut meliputi keterkaitan visi dan misi, program, kegiatan, termasuk kinerja yang ingin dicapai dan indikator yang digunakan untuk mengukurnya.

  1. 2.       TUJUAN

Laporan ini bertujuan untuk mengevaluasi keterkaitan antara dokumen-dokumen perencanaan yang digunakan oleh KL yang meliputi Renstra-KL, Renja-KL, RKA-KL, dengan dokumen manajemen kinerja berbasis balanced scorecard.  Keterkaitan yang dievaluasi terutama dalam hal indikator kinerja yang digunakan dalam setiap dokumen, baik dalam proses penetapannya, rumusan indikatornya, maupun dalam proses pelaporan atau evaluasinya.

  1. 3.       DASAR HUKUM
  2. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN;
  3. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
  4. UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP;
  5. PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
  6. PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional;
  7. PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-KL;
  8. PMK Nomor 93 Tahun 2011 tentang Juksunlah RKA-KL;
  9. KMK Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan;
  10. Permenpan Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan IKU di Lingkungan Instansi Pemerintah.
  1. 4.       PEMBAHASAN

4.1.    Alur Sistem Perencanaan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa kerangka perencanaan pembangunan nasional meliputi: a) rencana pembangunan jangka panjang (RPJP); b) rencana pembangunan jangka menengah (RPJM); dan c) rencana pembangunan tahunan.  RPJP Nasional adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.  RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program dalam rencana kerja yang bersifat indikatif.  Pada tingkatan Kementerian/Lembaga, RPJM ini selanjutnya disebut dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga atau lebih dikenal dengan Renstra-KL.

Rencana pembangunan 5 tahunan ini selanjutnya dijabarkan lagi dalam rencana pembangunan tahunan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tingkat Presiden serta Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) untuk tingkat KL.  RKP dan Renja-KL merupakan dokumen perencanaan untuk periode 1 tahun. Renja-KL yang disusun dengan mengacu pada RKP dan pagu indikatif ini selanjutnya menjadi pedoman penyusunan RKA-KL. RKA-KL inilah yang menjadi muara dari dokumen perencanaan dan penganggaran. Selanjutnya RKA-KL ini akan menjadi dasar ditetapkannya dokumen pelaksanaan anggaran yaitu DIPA.

4.2.    Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)

Dalam konsep pendekatan PBK, dituntut adanya keterkaitan yang erat antara anggaran dengan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu setiap unit organisasi pemerintah harus dapat menetapkan rumusan kinerja yang ingin dicapainya. Kinerja yang telah direncanakan tersebut harus bersifat terukur pencapaiannya. Untuk itu setiap unit juga harus menetapkan indikator kinerja tertentu untuk mengukur pencapaian kinerjanya. Yang jauh lebih penting, indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap unit organisasi.  Jadi informasi kinerja ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses perencanaan dan penganggaran.  Rumusan indikator kinerja beserta targetnya selanjutnya juga harus dinyatakan di dalam dokumen perencanaan termasuk Renja-KL dan RKA-KL.

Terdapat 3 (tiga) tahapan utama dalam penerapan PBK, yaitu:

1)      persiapan;

2)      pengalokasian anggaran; dan

3)      pengukuran dan evaluasi kinerja.

Salah satu proses penting pada tahap persiapan adalah penyediaan dokumen sumber.  Langkah ini diperlukan dalam penyusunan informasi kinerja beserta rincian alokasi anggaran kegiatan yang mengarah pada pencapaian kinerja yang diharapkan.  Dokumen sumber yang digunakan meliputi LAKIP yang menyajikan data capaian kinerja tahun sebelumnya.  Informasi ini berguna sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya, termasuk target kinerja dan capaiannya.

Pada tahap pengalokasian anggaran, setelah ditetapkannya prioritas pada setiap tingkatan unit organisasi, langkah selanjutnya adalah penetapan target.  Langkah ini berkaitan erat dengan perumusan indikator kinerja, baik pada tingkat program maupun pada tingkat kegiatan.  Langkah selanjutnya adalah melihat dan memperhitungkan ketersediaan anggaran untuk selanjutnya dituangkan dalam rincian pendanaan dan detil biaya.

Tahap terakhir dari penerapan PBK adalah pengukuran dan evaluasi kinerja.  Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja yang telah dilaksanakan.  Sedangkan evaluasi kinerja merupakan salah satu alat analisa untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.  Hasilnya akan digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pada tahun yang akan datang.  Pada tahap ini, indikator kinerja mempunyai peran yang sangat penting.  Indikator kinerja yang meliputi IKU (di level Program) dan IKK (di level Kegiatan) beserta targetnya merupakan penerjemahan Tujuan dan Sasaran Strategis KL ke dalam bentuk yang lebih nyata dan terukur.

Tahap pengukuran dan evaluasi kinerja sampai saat ini memang masih belum dilaksanakan.  Tentang pengukuran dan evaluasi kinerja ini PMK  Nomor 93 Tahun 2011 tentang Juksunlah RKA-KL mempunyai penjelasan yang berbeda dengan Buku Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran yang ditetapkan oleh Menteri Negara PPN/Kepala Bappennas dan Menteri Keuangan.  PMK Nomor 93 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengukuran dan evaluasi yang dilakukan adalah terhadap kinerja penganggaran.  Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan kinerja penganggaran yang dimulai dari penyusunan perencanaan anggaran sampai dengan pelaksanaan anggaran.  Sebagai langkah awalnya adalah diterapkannya sistem reward dan punishment atas pelaksanaan anggaran belanja KL selama tahun anggaran 2010.  Dari penjelasan ini terkesan bahwa pengukuran dan evaluasi yang dilakukan adalah terbatas pada kinerja sistem perencanaan dan penganggaran yang ada dalam sebuah unit organisasi, bukan kinerja pelaksanaan program dan kegiatan unit organisasi dalam mencapai tujuan dan sasarannya.

Sementara dalam Buku Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran disebutkan bahwa pengukuran kinerja dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tingkat pencapaian kinerja yang telah dilaksanakan.  Sedangkan evaluasi kinerja merupakan salah satu alat analisa untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian sasaran sebagaimana tercantum dalam dokumen perencanaan dan penganggaran.

4.3.    Manajemen Kinerja Berbasis Balanced Scorecard (BSC)

Berdasarkan KMK Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan, pelaksanaan manajemen kinerja di Kementerian Keuangan mulai tahun 2010 secara resmi menggunakan BSC.  BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi dan strategi yang tertuang dalam Renstra-KL dan Road-map Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke dalam suatu peta strategi. Renstra Kemenkeu yang merupakan dokumen perencanaan jangka menengah (5 tahun) lingkup Kemenkeu selanjutnya dijabarkan secara lebih rinci dalam road-map Kemenkeu yang berisi program dan kegiatan secara umum dalam jangka waktu 5 tahun. BSC juga dapat digunakan sebagai alat yang menghasilkan umpan balik untuk mereviu dan merevisi Renstra-KL.

Karena mengacu pada Renstra dan Roadmap yang memiliki jangka waktu 5 tahun, maka BSC yang dibangun di Kemenkeu juga berlaku untuk jangka waktu 5 tahun. Namun, setiap akhir tahun dilakukan reviu atas BSC yang dibangun sehingga dimungkinkan terjadi perubahan strategi sesuai dengan kondisi internal dan eksternal Kemenkeu.

Secara umum tahap-tahap penerapan BSC meliputi:

1)      penetapan perspektif;

2)      penyusunan sasaran strategis;

3)      penyusunan peta strategi; dan

4)      penetapan indikator kinerja utama (IKU).

Selanjutnya sesuai dengan KMK Nomor 12 Tahun 2010, hasil dari tahap-tahap tersebut dituangkan dalam sebuah dokumen Kontrak Kinerja yang ditandatangani oleh pimpinan unit organisasi dan atasan langsungnya.  Batas waktu penyusunan dan penetapan Kontrak Kinerja paling lambat pada bulan Januari tahun berjalan.  Kontrak Kinerja ini adalah dokumen yang berlaku untuk lingkup intern Kementerian Keuangan.  Sedangkan untuk lingkup nasional, setiap KL juga harus menyusun Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan Penetapan Kinerja (PK), yang mulai tahun 2011 informasi yang disajikan pada dasarnya sama dengan Kontrak Kinerja.

Kontrak Kinerja ini menyajikan peta strategi, sasaran strategis, dan IKU beserta targetnya, baik untuk periode 1 tahun maupun triwulanan.  Selanjutnya selama tahun berjalan, dilakukan evaluasi dan monitoring secara terus menerus terhadap pencapaian target IKU yang telah ditetapkan.  Hasil evaluasi dan monitoring dilakukan setiap triwulan dan pada akhir tahun yang dituangkan dalam sebuah Laporan Capaian Kinerja.  Pada akhir tahun laporan ini akan menjadi bahan masukan dalam penyusunan LAKIP.  Artinya pengukuran kinerja dan pencapaian target-target yang dilaporkan dalam LAKIP adalah berdasarkan RKT-PK (yang identik dengan Kontrak Kinerja) dan Laporan Capaian Kinerja.

  1. 5.       KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang disampaikan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan adanya beberapa permasalahan terkait sistem perencanaan dan penganggaran di lingkup KL khususnya Kementerian Keuangan.  Permasalahan yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:

a)      Adanya perbedaan rumusan indikator kinerja antara dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) dengan dokumen manajemen kinerja (KK dan RKT-PK) dan dokumen pelaporan (Laporan Capaian Kinerja dan LAKIP)

Dari hasil pembandingan dokumen perencanaan dan penganggaran tahun 2011 (Renja-KL dan RKA-KL) dengan dokumen manajemen kinerja (Kontrak Kinerja) tahun 2010 dan 2011, ternyata terdapat beberapa perbedaan tentang penetapan indikator kinerja (IKU).  Perbedaan tersebut meliputi perbedaan rumusan, perbedaan target, serta beberapa IKU yang ada di dokumen perencanaan dan penganggaran tetapi tidak ada di Kontrak Kinerja.  Hal ini terjadi karena penetapan IKU dan IKK dalam Renja dan RKA-KL 2011 mengacu pada Kontrak Kinerja tahun 2010.  Sementara dalam Kontrak Kinerja tahun 2011 terdapat beberapa rumusan dan target IKU yang mengalami perubahan.

b)      Batas waktu penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berbeda dengan dokumen manajemen kinerja

Dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) harus disusun sebelum tahun anggaran dimulai.  Bahkan proses penyusunannya sudah dimulai sejak bulan Februari/Maret tahun sebelumnya.  Dalam proses penyusunan tersebut juga sudah harus menetapkan IKU, baik di level program maupun kegiatan.  Sedangkan untuk dokumen manajemen kinerja (Kontrak Kinerja) baru disusun paling lambat Bulan Januari tahun berjalan.

c)       Permasalahan terkait pelaporan

Dalam praktiknya selama ini, pelaporan atas pencapaian target IKU hanya dilakukan terhadap dokumen manajemen kinerja, dalam hal ini Kontrak Kinerja.  Laporan tersebut berupa Laporan Capaian Kinerja yang disusun secara periodik setiap triwulan.  Selanjutnya informasi capaian kinerja tersebut juga akan menjadi dasar dalam penyusunan LAKIP.  Sedangkan terhadap IKU yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) belum ada mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban yang dilakukan.  Sebenarnya pelaporan atas pencapaian kinerja dalam Renja-KL dan RKA-KL bisa menggunakan data yang disajikan dalam Laporan Capaian Kinerja karena informasi yang disampaikan adalah sama.  Hanya perlu ditambahkan komponen realisasi anggaran untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas pelaksanaannya.  Kesulitan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara IKU dalam Kontrak Kinerja dengan IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL.

  1. 6.       REKOMENDASI

Terhadap permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi, dikemukakan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi bahan perbaikan.  Rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut:

a)      Adanya pengintegrasian antara sistem perencanaan dan penganggaran dengan sistem manajemen kinerja serta koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat

Sebagaimana telah disebutkan bahwa salah satu ciri khas dan manfaat pendekatan penganggaran berbasis kinerja adalah adanya keterkaitan secara langsung antara pendanaan dengan kinerja yang akan dicapai.  Karena pendekatan penganggaran berbasis kinerja saat ini sudah mulai diterapkan secara penuh, maka seharusnya sistem perencanaan dan penganggaran terintegrasi dengan sistem manajemen kinerja.  Adanya pengintegrasian antara kedua sistem ini diharapkan dapat mendukung keterkaitan antara pendanaan dengan kinerja.  Pengintegrasian ini juga akan membantu dalam proses pelaporan dan evaluasinya.

b)      Adanya mekanisme revisi indikator kinerja(IKU)  dalam Renja-KL dan RKA-KL

Adanya perbedaan rumusan dan target IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL dengan Kontrak Kinerja menyebabkan kurangnya keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja.  Selama ini tidak ada mekanisme revisi IKU dalam Renja-KL maupun RKA-KL setelah tahun anggaran berjalan.  Tetapi ketentuan mengenai revisi IKU juga belum diatur dalam peraturan terkait.  Tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas apakah boleh dilakukan revisi IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL pada tahun berjalan untuk menyesuaikan dengan IKU dalam Kontrak Kinerja.  Untuk lebih menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja yang akan dicapai, maka dinilai perlu adanya mekanisme revisi IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL.

c)       Perubahan batas waktu penyusunan dokumen manajemen kinerja

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dokumen manajemen kinerja berupa Kontrak Kinerja disusun paling lambat bulan Januari tahun berjalan.  Sedangkan dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) disusun sebelum tahun berjalan.  Perbedaan batas waktu penyusunan ini menyebabkan penetapan IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL mengacu pada dokumen Kontrak Kinerja tahun sebelumnya.  Padahal selama ini rumusan ran target IKU setiap tahun mengalami perubahan, baik penambahan, pengurangan, maupun perubahan lainnya.  Perubahan-perubahan ini selain untuk menyesuaikan dengan kondisi aktual juga lebih disebabkan karena unit organisasi belum dapat merumuskan IKU yang benar-benar dapat menjadi tolok ukur pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.

Oleh karena itu, waktu penyusunan dokumen-dokumen ini perlu disesuaikan, dalam hal ini penyusunan Kontrak Kinerja dilaksanakan sebelum tahun berjalan.  Dengan penyesuaian ini diharapkan penetapan IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL tidak mengalami kesulitan serta tidak ada lagi perbedaan IKU.

 
12 Comments

Posted by on March 15, 2012 in Lain-lain, Serius nan Ngilmiah

 

Antara Top Speed dan Average Speed

Februari ini dunia hiburan khususnya musik kembali berduka dengan meninggalnya salah satu diva pop terbaik dunia, Whitney Houston.  Tak hanya berduka, dunia juga dibuat tersentak oleh berita meninggalnya sang pelantun tembang-tembang romantis ini.  Bukan karena kematiannya, karena kematian adalah sesuatu yang mutlak dan pasti, tetapi karena caranya.

Kematian Whitney memang terbilang cukup tragis.  Saya katakan tragis bukan sekedar karena adanya dugaan overdosis narkotika.  Terlepas apa penyebab kematiannya, di akhir hidupnya mendiang memang sempat mengakui mengalami kecanduan narkotika.  Yang lebih memilukan lagi, saat-saat akhir hidupnya diwarnai dengan kebangkrutan dan lilitan hutang.  Meninggal dalam kondisi seperti itu tentu bukanlah cara meninggal yang diharapkan oleh siapapun.  Apalagi seorang artis papan atas yang pernah mencapai puncak prestasi dan kenikmatan materi.

Di masa jayanya, siapa yang tak kenal penyanyi bersuara tinggi ini.  Siapa yang tak familiar dengan lagu-lagu macam “I Will Always Love You”, “Miracle”, “One Moment In Time”, dan sederet lagu-lagu hits lainnya.  Kalaupun ada orang yang tak pernah mendengar namanya, paling tidak pernah mendengar lagu-lagunya saat itu, entah dimana dan dinyanyikan oleh siapa.

Di mata saya, kisah kehidupan sang diva saya analogikan sebagai sebuah kurva normal.  Sebuah kurva yang garisnya dimulai dari titik terbawah, lalu mengalami tren positif, terus naik perlahan hingga mencapai titik tertinggi, lalu kembali turun lagi hingga menyentuh titik terendah.  Bahkan untuk kasus Whitney Houston, tren menurunnya begitu curam dan drastic hingga dia terhempas.

Memang itu sesuatu yang normal.  Kata orang begitulah hidup, seperti roda, terus berputar, kadang di atas kadang di bawah.  Bukan seperti kurva.  Itu hanya istilah saya untuk menggambarkan kehidupan yang jatuh, bukan berputar.  Jatuh dan tidak pernah naik lagi.  Mungkin terlalu berat untuk kembali naik lagi.  Karena titik tertingginya terlalu tinggi, terlalu jauh di atas.  Hingga tak pernah sanggup untuk digapai lagi.

Jika boleh saya analogikan lagi kurva kehidupan itu dengan sepeda (tentu boleh saja, ini kan tulisan saya, terserah saya dong…).  Kembali lagi soal analogi sepeda.  Kurva normal itu layaknya seseorang yang sedang menggowes sepedanya.  Mulai dari titik nol, mengayuh perlahan hingga mencapai kecepatan tertentu, hingga di saat jalanan menurun, atau saat begitu bersemangat mengayuh, kecepatan meningkat terus semakin cepat hingga mencapai top speed.  Lalu pada saatnya dia pasti akan melambat dan kembali berhenti.  Entah karena telah tiba di tujuannya, karena macet, karena lelah, karena terjatuh, atau entah karena sebab apa.

Dalam bersepeda, apapun jenis dan tujuannya, sesungguhnya bukanlah top speed semata yang paling utama.  Bukan sekedar soal berapa kecepatan tertinggi yang pernah anda capai.  Bukan sekedar soal seberapa cepat anda mampu mengayuh sepeda anda.  Yang tak kalah penting dari itu, bahkan mungkin jauh lebih penting, adalah soal average speed.  Berapa kecepatan rata-rata yang mampu anda tempuh selama bersepeda.  Seberapa konsisten anda memutar pedal untuk menggerakkan roda sepeda anda.  Karena itulah yang akan menentukan bagaimana perjalanan anda.  Itulah yang menentukan berapa waktu yang anda butuhkan untuk mencapai suatu tujuan.  Itulah yang harus anda perhitungkan dalam merencanakan sebuah perjalanan.

Saat bersepeda jarak jauh, atau yang secara awam biasa disebut touring, kecepatan rata-rata adalah sesuatu yang sangat penting.  Saat harus menempuh jarak puluhan bahkan ratusan kilometer, kecepatan rata-rata adalah sesuatu yang wajib anda perhitungkan.  Berapa lama waktu yang anda butuhkan untuk mencapai kota berikutnya.  Dimana anda akan singgah sebelum malam hari tiba.  Bagaimana anda harus tiba di suatu tempat pada saat yang tepat.  Semua itu akan lebih mudah diperhitungkan jika anda memperhatikan kecepatan rata-rata anda.  Memacu sepeda sekuat tenaga saat jalanan turun atau mendatar hingga mencapai kecepatan yang fantastis menurut anda, tapi kemudian tak sanggup melahap tanjakan yang menghadang di depan, atau kehabisan tenaga hingga harus beristirahat lama, tentu bukanlah sesuatu yang bijaksana.

Jadi, saat hidup terasa begitu mudah, segala urusan berjalan lancar, semua masalah teratasi, tak ada hambatan berarti, mungkin saat itu kita sedang melewati jalanan yang lebar, mulus, datar, bahkan cenderung menurun.  Kayuhan pun terasa ringan.  Tak jarang kita tergoda untuk memacu sepeda secepat-cepatnya, hingga mencapai kecepatan tertinggi.  Tapi ingatlah tak selamanya jalanan seperti itu.  Akan tiba saatnya kita dihadapkan pada jalan yang rusak, sempit, menanjak, dan banyak aral melintang.  Saat itu terjadi, jangan sampai kita kehabisan semangat, energi, bahkan konsentrasi.  Pedal harus tetap dikayuh.  Roda tetap harus berputar.  Kecepatan rata-rata tetap harus dijaga.  Hingga saatnya kita harus berhenti, berhentilah dengan perlahan, tenang, dan puas karena semua tujuan telah tercapai.

 
Leave a comment

Posted by on February 15, 2012 in Lain-lain, Sepeda

 

Akhirnya Jatuh Juga

Ketiadaan jalur khusus sepeda di Jakarta, membuat pesepeda harus berbaur tumplek blek jadi satu dengan sepeda motor, mobil, bus, dan segala macam kendaraan lain dalam satu jalur yang sama. Ditambah lagi perilaku dan sikap mayoritas pengguna lalu lintas yang minim rasa peduli dan saling menghargai, membuat pesepeda harus rela “bersaing” secara terbuka dengan semua kendaraan itu. Tentu ini sebuah persaingan yang tidak imbang. Karena secara kodrat, sepeda memang diciptakan lebih lemah dibandingkan motor, mobil, apalagi bus. Ketika terjadi kontak fisik antar jenis kendaraan itu, besar kemungkinan sepeda dan pengendaranya lah yang akan menderita kerusakan dan kerugian paling besar.

Pagi ini, seperti biasa hari Jumat lainnya saatnya b2w ke kantor. Tapi hari ini saya berangkat sedikit lebih pagi karena kebetulan ada acara di kantor. Kondisi lalu lintas sudah cukup ramai. Beberapa menit mengayuh sepeda, sampailah saya di bekas SPBU Pakubuwono. Kondisi jalan cukup lancar dan agak menurun mempercepat laju sepeda saya. Maksud hati ingin menikmati suasana pagi maka saya menebar pandangan ke sekitar. Mata saya tak lagi fokus ke depan, kemana saya seharusnya fokus. Sedang asyik-asyiknya menikmati pemandangan sekitar, tepat di depan SMK 30 tiba-tiba saya dikagetkan oleh pengendara motor yang entah sejak kapan ada disitu. Motor itu melaju sangat pelan –antara berhenti dan jalan lambat- di sisi paling kiri. Beberapa saat kemudian saya tersadar, motor itu berada dalam satu garis lurus dengan posisi sepeda saya, yang saat itu sedang melaju cukup kencang. Bersamaan dengan itu saya juga berpikir “bisa nubruk nih kalo kayak gini”.

Sayangnya ketika itu jarak saya dengan si pengendara motor hanya tinggal beberapa cm saja. Jari-jari tangan saya terlambat menarik tuas rem. Handlebar pun tak sempat saya banting ke kanan. Saya hanya pasrah saja saat itu. Dan benar saja, kontak fisik tak seimbang itu tak terhindarkan.

GUBRAKKK….!!!

Tiba-tiba saya sudah berguling-guling di atas aspal. Sementara si pengendara motor dengan angkuhnya tetap dalam posisinya semula. Dia hanya kaget lalu memandang dengan penuh perasaan aneh pada saya. Saya pun langsung bangun. Sepeda saya tuntun ke pinggir. Ada bapak satpam yang menolong saya. Yang pertama saya lihat kondisi sepeda. Sepertinya semua masih berada di tempatnya, kecuali lampu depan yang copot. Alhamdulillah badan saya juga masih utuh, hanya sedikit nyeri di lutut kiri.

Mengobati rasa malu, saya berusaha mencari-cari kesalahan pengendara motor. Dan satu yang saya ingat, dia tidak menyalakan lampu sein. Aha… Itulah senjata saya untuk menyerangnya. “Berhenti gak nyalain lampu sein sih mas…!” Hardik saya (sebelum dia menghardik saya). Tak mau kalah, dia pun balas menghardik saya “Kan saya sudah berhenti dari tadi”. Beberapa saat kami berdua tetap bersikukuh dengan pendapat masing-masing. Ah sudahlah, tak ada gunanya berdebat, apalagi sampai rebut. Lagipula ini memang salah saya. Akhirnya saya memilih untuk memeriksa lagi kondisi sepeda saya. Ternyata ban depan kempes pes. Mungkin sobek, karena ketika saya coba pompa tak ada udara yang masuk sama sekali. Beruntung saya bawa ban cadangan. Langsung ganti ban dalam. Saat ban terpasang kembali baru sadar ternyata rim juga sedikit peyang.

Tak apalah, yang penting masih bisa melanjutkan perjalanan ke kantor. Dan sampai kantor Alhamdulillah belum terlambat.

 
1 Comment

Posted by on January 20, 2012 in Sepeda

 

Sepeda dilarang Masuk Jalur Cepat?

Suatu kesalahan yang dilakukan secara berulang dan dibiarkan hingga menjadi kebiasaan, akan menjadi seperti suatu kebenaran. Begitu pula tindakan pesepeda yang memasuki jalur cepat. Yang mana jalur cepat itu hanyalah diperuntukkan bagi mobil. Sedangkan sepeda harusnya ya menggunakan jalur khusus sepeda. Kalaupun toh belum tersedia jalur khusus sepeda, maka sepeda sepantasnyalah menggunakan jalur lambat. Bukankah sepeda itu kendaraan yang lambat lajunya.

Yang terjadi selama ini, setidaknya di jalur cepat Jl. Sudirman – Thamrin, banyak pesepeda yang masuk ke jalur cepat. Termasuk saya sendiri hampir selalu menggunakan jalur cepat saat ber-b2w maupun b2h. Hal ini sudah saya lakukan sejak saya pertama kali terjun ke dunia per-b2w-an lebih dari 2 tahun yang lalu. Saya lakukan itu karena seperti itulah yang saya dengar dari cerita teman-teman dan saya lihat sendiri di jalan. Kalau mau aman dan cepat saat bersepeda, masuklah ke jalur cepat.

Polisi sebagai aparat penegak hukum, selama inipun sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya hanya “membiarkan” aksi yang dilakukan para pesepeda. Belum pernah saya alami dilarang masuk ataupun disuruh keluar dari jalur cepat oleh pak polisi. Padahal hampir setiap kali saya bersepeda selalu bertemu pak polisi yang sedang bertugas mengatur lalu lintas. Karena sudah berlangsung sekian lama, maka sayapun menganggap hal ini seolah sebagai suatu kebenaran.

Bukannya saya tidak tahu bahwa tindakan itu melanggar aturan. Bukan pula saya penganut paham anti kemapanan yang menikmati melanggar aturan. Apalagi berpendirian bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar. Sama sekali bukan. Saya melakukan itu semata-mata karena alasan keamanan dan kenyamanan.

Keamanan karena di jalur cepat hanya dilalui oleh mobil pribadi, dan sedikit angkutan umum, yang lajunya cenderung stabil dalam suatu garis lurus. Sedangkan di jalur lambat, segala macam jenis kendaraan dengan aneka rupa gaya berkendara ada disana. Mulai dari besi tua bermesin yang bisa melaju secara zig-zag dan berhenti mendadak tanpa tanda, hingga motor-motor yang pengendaranya hanya tahu menarik gas dan menginjak rem, tanpa tahu apa fungsi lampu sein dan kaca spion. Kenyamanan karena semacet-macetnya jalur cepat biasanya masih cukup toleran dengan menyisakan sedikit celah untuk sepeda saya. Kenyamanan juga karena kondisi jalan di jalur cepat relatif lebih bagus daripada jalur lambat yang sering digali tanpa sebab yang jelas dan di saat yang tak tepat.

Maka ketika hari Jumat pagi, tanggal 30 Desember 2011, kemarin tepat di depan Pintu Satu GBK laju sepeda saya dihentikan oleh pak polisi dan diminta keluar dari jalur cepat, timbullah pertanyaan besar dalam hati saya. Saat itu yang terucap dari mulut saya hanya kata-kata “Kenapa Pak?”. Dan pak polisi pun menjawab: “Sepeda sekarang harus lewat jalur lambat Pak”. Saya pun berpindah ke jalur lambat. Menjelang terowongan Semanggi, terbersit niat jahat dalam hati. Saya berpindah ke kanan dengan maksud kembali masuk jalur cepat. Tapi aksi saya kembali dihadang oleh pak polisi yang lain. Kali ini rasa penasaran saya tak tertahan. Mengobrollah kami berdua. Dari obrolan itu saya dapatkan sedikit informasi bahwa polisi juga hanya menjalankan perintah dari atasan. Perintah ini tidak main-main, karena polisi yang bertugas akan kena sanksi jika masih ada pesepeda yang berkeliaran di jalur cepat. Untuk ke depannya aturan ini masih dalam penggodogan. Begitulah informasi yang saya dapat. Lalu saya pun melajutkan perjalanan menuju kantor. Malamnya saya pulang menumpang mobil teman, sedangkan sepeda saya tinggal di kantor. Jadi saya tidak tahu bagaimana perkembangan aturan baru ini.

Tadi malam saya pulang kantor dengan ber-b2h. Pukul 20.30 saya baru meluncur dari kantor. Begitu sampai di Jl. Sudirman, tanpa rasa bersalah sedikitpun saya masuk ke jalur cepat. Laju sepeda saya cukup lancar terkendali dan tak satupun polisi saya temui. Menjelang Jembatan Semanggi tepatnya di pos polisi depan kampus Atmajaya, 2 orang polisi tampak melambai-lambaikan lampu senter merahnya. Di depan saya seorang pesepeda pedagang kopi keliling berhenti lalu berdialog dengan seorang polisi. Seorang polisi lagi menghampiri saya dan menjelaskan bahwa per tanggal 1 Januari 2012 sepeda tidak boleh masuk jalur cepat kecuali saat Car Free Day. Dialog pun terjadi. Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pun sempat saya singgung. Disitu disebutkan bahwa setiap jalan umum harus dilengkapi beberapa fasilitas yang salah satunya adalah fasilitas untuk pesepeda. Lalu bagaimana nasib pesepeda kalau dilarang masuk jalur cepat tapi tidak disediakan jalur khusus.

Tapi lagi-lagi pak polisi itupun tak bisa berbuat banyak. Beliau hanyalah pelaksana lapangan yang harus menjalankan tugas. Tapi saya meminta aspirasi ini bisa disampaikan kepada atasannya dan beliau telah menyanggupinya. Saya pun berpindah ke jalur cepat dan bergabung dengan “seru” nya suasana berkendara di sana. Bekas-bekas pekerjaan galian yang sepertinya hanya memperburuk kondisi jalan seolah melatih konsentrasi dan keahlian saya dalam menghindari halang rintang. Alhamdulillah saya bisa sampai rumah dengan selamat sentosa.

Semoga peraturan baru ini bukan sebuah langkah mundur dalam perkembangan dunia persepedaan di Indonesia khusunya Jakarta. Semoga peraturan baru ini tidak menjadi penghalang dan menyurutkan semangat saya dan rekan-rekan semua untuk terus melanjutkan gerakan bersepeda.

 

 
Leave a comment

Posted by on January 3, 2012 in Sepeda, Uneg-uneg

 

Hore… Kantorku Punya Parkir Sepeda

Akhir tahun adalah saat yang paling tepat untuk melakukan pengadaan, pembangunan, maupun renovasi berbagai macam barang dan bangunan. Setidaknya itulah kepercayaan yang dianut oleh hampir seluruh institusi pemerintah di negeri ini, termasuk institusi tempat saya mengabdi (sebut saja sebuah kementerian di kawasan Lapangan Banteng).  Entah apa dasar pemikirannya, tak tahu dari mana landasan teorinya, hingga muncul keyakinan seperti itu. Yang jelas itulah realita yang nyata-nyata terjadi di sini. Meja kursi baru berdatangan, gedung-gedung lama dipercantik, taman-taman didesain ulang, jalan raya digali, dan masih banyak lagi hal serupa.

Dari sekian banyak pengadaan, hanya satu hal kecil yang menarik bagi saya. Ya, apalagi kalau bukan parkiran sepeda. Ahay…. Kantor ini sekarang punya parkiran sepeda…!

Ada 3 buah benda semacam ini, di lokasi yang berbeda

Lalu ada hubungan apa antara keyakinan tentang akhir tahun dengan parkiran sepeda itu? Begini ceritanya:

Gerakan bersepeda ke tempat kerja (b2w) di lingkungan kantor saya sempat mengalami pasang surut. Sekira 3 tahun yang lalu gerakan ini sempat menempati rating yang tinggi. Ada beberapa pegawai yang cukup aktif bersepeda ke kantor. Walaupun tak terlalu banyak jumlahnya, tapi paling tidak saat kami berkumpul sudah tampak seperti sebuah komunitas atau rombongan sepeda. Saat itu kami sempat membuat kostum/jersey seragam. Dengan sering “ngumpul-ngumpul” apalagi dengan jersey seragam, semakin nyata lah eksistensi gerakan b2w ini. Target selanjutnya adalah memperjuangkan tempat parkir khusus sepeda. Menurut informasi yang saya dapat, saat itu beberapa teman sudah sempat mengajukan permohonan secara resmi untuk pembuatan tempat parkir khusus sepeda.

Seiring berjalannya waktu, gerakan b2w di kantor saya mengalami pasang surut. Tak tampak lagi para pegawai bersepeda berkumpul di hari Jumat pagi. Setali tiga uang nasib tempat parkirnya, permohonan yang sudah diajukan tak kunjung berbalas. Hanya sesekali tampak satu dua orang yang masih setia dengan sepedanya setiap kali pergi ke kantor.

Kemudian 1 tahun terakhir ini gerakan b2w mulai menggeliat lagi. Teman-teman yang sudah lama menggantung sepedanya di gudang, terpanggil lagi untuk kembali mengayuhnya ke kantor. Teman-teman –terutama pegawai baru- yang belum punya sepeda tergugah untuk menebus sepeda idaman. Bahkan ada seorang teman yang sebelumnya alih-alih bersepeda ke kantor, naik sepeda saja tidak bisa, ikut terprovokasi untuk membeli sepeda. Walaupun dalam pada akhirnya beberapa bulan kemudian teman saya itu menjual lagi sepedanya. Namun setidaknya kini dia sudah bisa dan berani naik sepeda di jalan raya.

Melihat peminat sepeda yang semakin meningkat, kami pikir inilah momen yang tepat untuk kembali melanjutkan program yang tertunda, pembuatan tempat parkir sepeda. Kalaupun sampai perlu acara demo segala, massa kami sudah cukup banyak. Haha… Maka setelah menggalang dukungan dan melakukan lobi kesana kemari, kami kembali mengajukan permohonan secara resmi kepada pihak yang berwenang.

Singkat kata, entah karena apa, tren bersepeda di kantor saya mulai meredup lagi. Tinggallah segelintir orang yang belum sembuh “gila” nya dan semakin parah kecanduannya pada sepeda. Mungkin termasuk saya. Tempat parkir yang kami tunggu-tunggu tak kunjung ada. Bahkan kabar berita dan perkembanga sudah sejauh mananyapun tak terdengar lagi. Saya sudah pasrah saja.

Tapi ternyata doa dan harapan kami tak sia-sia. Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah benda aneh berwarna kuning. Setelah saya amati terdapat simbol sepeda pada di bagian atasnya, saya menyimpulkan dengan penuh keyakinan bahwa ini adalah sebuah tempat parkir sepeda. Hurray…!!!

Demi tidak mengklaim bahwa tempat parkir ini adalah hasil usaha kami, maka saya anggap pembuatan tempat parkir ini adalah buah manis dari keyakinan tentang akhir tahun yang saya ceritakan di awal tadi. Dan dengan mengabaikan soal desain dimana jarak antar palang terlalu lebar sehingga kurang bisa menahan sepeda yang bersandar, keberadaan tempat parkir ini adalah sebuah langkah maju, kalau tak boleh disebut sebuah lompatan. Semoga dengan keberadaan tempat parkir ini, semangat kehidupan bersepeda di kantor saya kembali bergelora. Dan kalau boleh berkhayal, semoga suatu saat nanti tempat parkir motor dan mobil tergusur, berubah menjadi benda kuning aneh berlogo sepeda seperti ini.

 
Leave a comment

Posted by on December 29, 2011 in Sepeda

 

3.726 m dpl, pergantian tahun di puncak sang dewi (part #3 habis)

Mari kita lanjutkan cerita yang cukup lama tertunda…

Segara Anak from top

30 Desember 2008

Setelah kembali ke Pelawangan, kami langsung sarapan dengan menu hasil racikan 2 orang porter kami. Entah cerita orang yang bohong atau kami yang kurang beruntung memilih porter, masakan mereka tak seperti yang kami harapkan. Tapi beruntung rasa lapar menghipnotis kami sehingga saat itu masakan itulah makanan terlezat yang pernah kami santap. Setelah sarapan rencananya kami langsung packing lalu menuju ke Segara Anak. Tapi apalah daya, perut kenyang  dan rasa letih berdampak buruk pada mata. Kantuk hebat tiba-tiba menyerang. Tanpa komando siapapun kami semua terlelap. Entahlah dengan 2 porter, mungkin mereka terlelap juga.

Perut kenyang, kantuk datang

Tak lama kami sudah terbangun lagi. Kabut mulai menyelimuti. Kami pun segera bergegas packing. Para pendaki  lain yang juga menginap di Pelawangan ternyata sudah lebih dulu turun. Kami rombongan terakhir yang akan turun. Tapi ternyata kami tak sendirian. Saat kami mulai packing dan membersihkan sampah, segerombolan monyet gunung merangsek ke arah kami. Mata mereka menatap nanar penuh selidik mencari-cari barang apa yang bisa mereka gondol. Kami pun memasang sikap waspada.

Jangan kabur lu...

Saat kami lengah, sebotol minyak goring yang membeku berhasil mereka bawa kabur. Selain terganggu, kami pun sebenarnya cukup terhibur oleh mereka. Bahkan Hilman dan Ko Tepi sedikit bermain dengan mereka. Sambil takut-takut mereka mengulurkan cuilan kue dan biscuit kepada para monyet. Beberapa monyet besar pun menghampiri dan segera merenggut kue-kue yang disodorkan.

Harus rukun dengan saudara

Sang pawang beraksi

Puas bermain-main dengan penghuni lokal, sekitar pukul 11.00 WITA kamipun segera meluncur turun menuju Segara Anak. Saatnya berpesta menyambut tahun baru. Belum lama berjalan gerimis mulai turun. Trek berbatu yang licin karena hujan membuat langkah kami agak melambat. Hampir sepanjang perjalanan gerimis menemani kami. Beberapa saat reda tapi tak lama kemudian turun lagi rintik hujan. Begitu terus sepanjang perjalanan. Akhirnya sekira pukul 3 sore kami sampai juga di Segara Anak. Di situ sudah ada 3 tenda yang berdiri. Mereka memilih lokasi di tepi danau yang terbuka. Pilihan yang tepat jika anda mencari sensasi dan aroma air danau yang berkecipak. Tapi kami lebih memilih kenyamanan, mengingat cuaca saat itu cenderung hujan. Maka kami pun memilih lokasi tenda agak menjauh dari tepi danau, di tempat yang terlindung oleh rindang pohon. Kami juga memanfaatkan sebuah pos sebagai tempat memasak dan berkumpul. Kami benar-benar siap untuk berpesta.

Setelah tenda berdiri dan semua barang rapi di tempatnya, kami segera bersiap melakukan salah satu ritual wajib di Segara Anak: Mancing… satu alat pancing baru yang ketinggalan entah dimana tak menghalangi acara mancing kami. Beruntung persediaan senar dan mata kail cukup banyak. Mancing mania pun dimulai. Hingga gelap mulai menyelimuti, kami baru beranjak dari ritual mancing ini. Beberapa ekor ikan berhasil kami kumpulkan walaupun tak ada yang berukuran jumbo. Kecuali saya, sepertinya semua orang berhasil menaikkan minimal satu ekor ikan. Sedangkan saya, tak satu ekor ikan pun yang bisa saya dapat. Ah mungkin saya hanya kurang beruntung. Besok masih ada waktu.

Mancing mania

Malam hari tiba, saatnya pesta bakar ikan. Ekor demi ekor ikan mulai kami masak lalu langsung disantap. Para penghuni lokal pun sepertinya ingin ikut berpesta menyantap ikan. Kali ini bukan lagi monyet yang berkuasa, tapi anjing hutan. Sepertinya lebih menyeramkan. Tapi ternyata anjing lebih pemalu daripada monyet. Mereka cenderung menghindar saat berhadapan dengan manusia.

Puas pesta ikan, kamipun bergegas menuju peraduan. Tidur nyenyak malam itu. Besok pagi bangun bebas, tak ada acara kemana-mana. Seharian besok kami masih akan bertamasya di Segara Anak. Menghabiskan tahun 2008.

31 Desember 2011

Hari ini acara bebas. Tak ada rencana kemana-mana. Saatnya menjelajah.

Pagi ini dua porter kami pulang. Sesuai perjanjian kami hanya menggunakan jasa mereka sampai disini. Untuk turun besok kami tak perlu lagi porter karena barang bawaan kami jauh berkurang.

Tempat pertama yang kami sambangi adalah sumber air tawar. Untuk mencapainya cukup berjalan sekitar 20 menit pulang-pergi. Sumber air itu berupa sebuah mata air kecil dari celah bebatuan. Tak jauh dari sumber air itu terdapat pemandian air panas. Inilah salah satu tempat yang wajib dikunjungi di Segara Anak ini. Mata air di pemandian ini dialirkan melalui pipa-pipa besi. Kolamnya dibuat beberapa kotak dengan tingkat suhu yang berbeda. Dari yang paling panas hingga yang cukup hangat. Kami pun tak melewatkan acara berendam.

Kolam level 2

Puas berendam kami kembali ke tenda untuk makan dan bermalas-malasan. Sebagian kami melanjutkan ritual mancing. Sedangkan saya sendiri tak lagi ikut mancing, saya pikir ini bukan peruntungan saya.

Sore harinya saya dan Ari “Tompel” bersama teman pendaki dari Jogja (lupa namanya) mengunjungi air terjun. Mereka yang sudah tempatnya jadi kami ikut saja. Membutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk mencapainya dari Segara Anak. Sepertinya jalan menuju ke air terjun ini jarang dilewati. Semak belukar menutupi beberapa bagian jalan. Bahkan kami harus meniti batang pohon untuk menyeberangi sebuah sungai kecil. Air terjun ini tak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar belasan meter. Yang menarik air terjun ini bukan air tawar tapi air belerang. Bekas belerang yang menempel di dinding batu membentuk gurat-gurat warna hijau bergradasi. Di samping air terjun terdapat ceruk-ceruk semacam gua kecil. Di beberapa bagian dihuni oleh monyet yang menatap curiga pada kami.

Air terjun

Puas borfoto dan menikmati suasana, kami kembali ke tenda. Tim pemancing berhasil mengumpulkan lebih banyak ikan. Mungkin itu untuk menyemarakkan pesta tahun baru nanti malam. Saya sih jadi penikmat saja. Setelah kemarin gagal mendapatkan ikan, hari ini saya lebih memilih tak memancing lagi. Mungkin ini bukan bidang saya. Lagian kalau semua orang mancing, terlalu banyak ikan yang ditangkap, siapa yang akan memakannya?

Malam hari tiba, saatnya pesta ikan lagi. Sayangnya kemampuan memancing ikan kami ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan untuk menyantapnya. Atau mungkin jumlah ikan yang terlalu banyak. Ikan masih banyak tapi kami tak lagi sanggup melahapnya. Kami coba tawarkan ke tenda tetangga, tapi mereka juga punya menu yang sama. Semakin malam, cuaca kurang bersahabat. Angin kencang dan hujan terus mengguyur. Beberapa rombongan pendaki lagi yang datang. Satu rombongan sempat kehilangan beberapa anggotanya yang katanya posisi terakhir di depan tapi hingga sweeper datang mereka tak juga muncul. Kami pun bersiap melakukan pencarian. Tapi syukurlah tak lama kemudian mereka muncul dengan selamat. Segara Anak semakin ramai malam itu.

Tak sampai terlalu larut kami sudah membaringkan diri. Besok kami harus bangun pagi untuk packing dan melakukan perjalanan turun. Direncanakan paling lambat pukul 8.00 kami sudah meluncur.

1 Januari 2009

Hari pertama di 2009 kami bangun pagi-pagi. Tapi rasa malas menghinggapi. Setelah sarapan dan packing, baru sekitar pukul 8.30 kami siap meluncur. Beberapa rombongan sudah turun duluan, sementara masih ada juga yang tinggal. Cuaca cerah sekali hari ini. Rasanya masih ingin tinggal lebih lama di sini. Tapi waktu tak memungkinkan.

Awal perjalanan, tujuan kami adalah puncak di latar belakang

Rute turun kami adalah melalui Senaru. Bukan kembali ke Sembalun. Karena letak Segara Anak yang dikelilingi gunung, maka perjalanan turun kami tidak benar-benar turun. Perjalanan justru kami mulai dengan mendaki. Sebuah jalan bercabang sempat membingungkan dan membuat kami salah jalan. Setelah menerobos semak, dipimpin Hilman dan Ko Tepi, kami akhirnya kembali ke jalan yang benar. Cuaca cerah berarti juga panas. Ditambah trek yang masih terus mendaki, membuat kami cukup kelelahan. Sekitar pukul 12.00 kami sampai di Pelawangan Senaru. Mulai dari sini perjalanan turun yang sebenarnya baru dimulai.

Katanya mau turun tapi jalan malah nanjak terus

Hilman yang begitu jumawa saat mendaki kemarin, tak lagi tampak di depan. Kali ini dia berganti peran jadi sweeper, karena ada sedikit masalah pada kakinya. Walaupun jalan turun, dia tetap berjalan pelan. Sementara yang lain berlari.

Bahkan ada trek vertikal

Setelah melewati beberapa pos dan sempat bertemu dengan pendaki asing, sekitar pukul 16.30 kami sampai di pintu gerbang Senaru. Di situ kami melihat sebuah warung. Tanpa komando, kami semua langsung merapat. Teh manis hangat dan beberapa butir pisang menjadi suntikan energi untuk kami. Lalu kami lanjutkan perjalanan menuju Pos Senaru. Setengah jam kemudian kami sudah tiba di Pos. Hujan kembali turun saat kami tiba di Pos. Setelah sholat Ashar kami sempatkan belanja beberapa merchandise di Pos. Sementara Ko Tepi –dengan kemampuan negosiasinya- mencari mobil carteran untuk membawa kami menuju Mataram, ke tempat Mas Tamim.

Pintu gerbang Senaru

Menjelang maghrib mobil carteran didapat dan kamipun langsung meluncur.

Malam tahun baru yang tak kan pernah terlupakan…

Terima kasih untuk Ari Tompel-695, Hilman-722, Iyok-736, Uhe-768, dan Ko Tepi-829 atas perjalanan hebat ini…

 
2 Comments

Posted by on December 22, 2011 in Uncategorized

 

Kepercayaan Diri ku dari Sepeda

Si Domi

Apa yang membuat anda merasa hebat? Apakah penampilan yang good looking; mulai wajah rupawan masuk kategori camera face, kulit putih mulus, tubuh langsing atletis dengan perut rata bermotif six-pack dan otot bergelombang menonjol disana-sini, hingga rambut hitam lurus lebat bak bintang iklan semir rambut. Ataukah gaya berpakaian anda yang selalu fashionable dan up-to-date, bermodal pakaian bermerk dengan model yang sedang menjadi trend, urusan cocok atau tidak itu bukan soal, karena trend adalah segalanya. Ataukah dukungan gadget pintar serba canggih seri terbaru dengan fitur lengkap yang bahkan jarang anda gunakan. Atau justru tunggangan anda lah yang menurut anda menentukan jati diri dan kepribadian anda. Motor sport berkapasitas mesin super besar, bodi bongsor, dan suara menggelegar, atau mobil mewah mentereng berpelek bling-bling yang harga 1 biji spionnya saja jutaan Rupiah.

Semua itukah yang membuat membangkitkan rasa percaya diri anda?

Tapi tidak bagi saya. Tak satupun dari semua itu.

Bukan karena semua itu salah, atau tidak penting, atau tidak cukup hebat hingga bisa memunculkan rasa percaya diri. Sekali lagi bukan. Tapi lebih karena tak satupun dari semua itu yang ada pada diri saya.

Penampilan dan wajah saya pas-pasan, hanya memenuhi standar deskripsi anatomi orang melayu sebagaimana dijelaskan dalam buku ilmu sosial. Tinggi sedang, kulit sawo matang, rambut ikal, hidung tak mancung (kalau tak mau disebut pesek).

Gaya berpakaian saya pun jauh dari kesan fashionable (kesan saja jauh). Rumus berpakaian saya sangat sederhana, hanya mengenal dua variabel: Nyaman dan Terjangkau, itu saja.

Urusan gadget juga bukan prioritas utama gaya hidup saya. Hanya satu hal yang bisa saya banggakan dari soal ini, saya adalah tipe laki-laki setia pada gadget. Telepon genggam, laptop, arloji, dan perlengkapan elektronik saya lainnya rata-rata panjang umur. Hampir semuanya saya gunakan hingga habis masa manfaatnya. Saat mereka tak lagi sanggup memberikan layanan minimalnya, atau keberadaan mereka justru menyusahkan saya, itulah saat gadget baru harus dibeli. Lagi-lagi rumusnya ada 2: Sesuai kebutuhan dan Terjangkau.

Apalagi soal tunggangan, sama sekali jauh dari kata hebat, atau mewah. Lagi-lagi saya termasuk tipe laki-laki setia. Satu-satunya motor saya, yang masih setia sampai detik ini menemani kemanapun saya ajak dia, hanyalah sebuah motor bebek pemberian orang tua saat kelas 3 SMA dulu. Itu artinya sudah lebih dari 10 tahun umurnya. Cukup renta untuk sebuah motor. Sedangkan mobil, hingga saat ini saya masih sangat menikmati peran sebagai penumpang –orang yang suka menumpang mobil orang lain.

Lalu apa yang menjadi sumber inspirasi pembangkit percaya diri saya? Jawabnya tentu sesuai judul tulisan ini: Sepeda.

Tapi tunggu dulu, bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa sepeda saya adalah sepeda canggih buatan tangan berbahan material pilihan berharga belasan hingga puluhan juta Rupiah. Bukan pula sepeda saya adalah sepeda unik yang hanya ada beberapa biji di negeri ini. Atau sepeda kuno yang sudah cukup berumur dan telah digunakan dalam berbagai jenis perang. Karena sepeda saya hanyalah sebuah sepeda rakitan yang dibangun dengan budget mepet. Lalu dimodivikasi dan diakali untuk memenuhi unsure kenyamanan dan kebutuhan.

Maksud saya adalah bersepeda. Ya, bersepedalah yang membuat saya percaya diri, bahkan di hadapan siapapun. Saat bersepedalah yang menjadi saat saya merasa paling hebat, serasa menjadi seorang pemenang. Saat helm, kacamata, dan sarung tangan telah terpasang, tali sepatu pun telah terikat erat, tak lupa celana padding melindungi bagian vital, lalu sepeda pun meluncur di jalanan, serasa tak ada pengguna jalan lain yang lebih hebat, lebih keren dari saya. Kepada segala jenis motor yang mendahului, saya katakan: “Sehebat apapun engkau, saat tangki bahan bakarmu kosong, engkau hanyalah seonggok besi yang menggantungkan hidupmu pada minyak bumi.” Kepada mobil-mobil yang melaju dengan angkuh, saya sampaikan: “Semewah apapun engkau, saat jalan macet kau tetap harus berpartisipasi.”

Saat jalanan ibu kota berubah menjadi parkiran raksasa, mobil dan motor tak kuasa berpindah tempat, tapi sepeda saya masih bisa melaju menerobos tiap celah yang tersisa. Saat banjir menggenang, mobil dan motor memilih berbalik arah, tapi sepeda saya lebih memilih untuk menceburkan dirinya demi membawa tuannya ke tempat tujuan dengan cepat. Saat harga BBM melambung atau stoknya tiba-tiba hilang dari pasaran, sepeda saya pun tak perlu ikut mengantri hanya untuk bisa melaju.

Sepedalah yang membuat saya cukup percaya diri berangkat ke kantor tanpa mandi. Sepedalah yang memberikan saya cukup alasan untuk masuk ke lift kantor hanya dengan celana pendek dan kaos oblong penuh keringat. Jika ada yang bertanya: “Naik sepeda dari rumah mas?” maka inilah moment yang membanggakan bagi saya. Lalu saya pun akan menjawabnya denga penuh rasa bangga: “Betul Pak.” Kalau mereka menambahkan komentar: ”Wah hebat ya…!” Maka saat itulah saya akan tersenyum dan tersipu malu, walaupun hanya dalam hati. Sungguh kepuasan yang tak terkira.

 
1 Comment

Posted by on December 13, 2011 in Lain-lain, Sepeda

 

Pemersatu itu bernama Sepakbola

Sore itu suasana di Stadion Utama Gelora Bung Karno terasa sedikit berbeda, jika dibandingkan 2 event serupa yang telah lewat.  Pada 2 pertandingan sebelumnya di ajang Sea Games 26 ini, hanya sekitar 5 ribu penonton yang menyaksikan langsung. Cukup lengang untuk Stadion berkapasitas 80 ribu lebih tempat duduk.  Tapi sore ini penonton membludak.  Masuk ke kompleks GBK, sejauh mata memandang hanya merah putih yang tampak, dengan segala bentuk dan aneka rupa pernak-pernik nya.  Tempat parkir di pintu masuk Masjid Al-Binna pun sampai tak muat lagi.  Lahan parkir di gedung seberang jalan pun jadi sasaran para penonton. Padahal pertandingan baru dimulai lebih dari 1,5 jam lagi. Berbeda dengan 2 pertandingan yang lalu, pertandingan sudah mulai pun saya masih bisa parkir disini.

Merahnya GBK sore itu

Entah karena hari Minggu, atau karena Thailand yang menjadi lawan kali ini cukup berat, atau karena trend permainan Garuda muda yang tampil impresif dan menuai hasil positif di 2 laga sebelumnya, kali ini penonton benar-benar membludak. Mulai pasangan muda mudi, sekeluarga lengkap bapak ibu dan anak-anaknya, seorang suporter Persela (atau Persekabpas ya…?) yang selalu tampil dengan dandanan nyentrik: kepala botak, bertelanjang dada berbalur body painting putih di sekujur tubuhnya, gerombolan suporter fanatik macam Aremania yang datang langsung dari Malang, hingga orang-orang kesepian yang datang sendirian macam saya, semuanya ada. Satu  yang pasti, seluruh yang hadir di GBK sore itu punya tujuan dan harapan yang sama: Kemenangan bagi Indonesia…

Suasana di dalam stadion begitu bergelora, sesuai nama stadion ini.  Lengkingan terompet, deru genderang, dan teriakan para penonton sahut menyahut tiada henti, bahkan sebelum kick-off dilakukan. Seluruh tempat duduk, mulai dari VIP hingga tribun atas berubah menjadi merah. Saat Indonesia Raya diperdengarkan dan seisi GBK ikut mengumandangkan, terasa dada bergetar hebat penuh rasa bangga. Saya yakin anda akan merasakan hal yang sama jika berada di sana. Sayang, banyak penonton yang belum hafal lagu kebangsaan sendiri.  Mereka sudah bertepuk tangan dan membunyikan terompetnya saat Indonesia Raya menyisakan satu bait terakhir. Mungkin mereka terlalu bersemangat hingga lupa bahwa bait terakhir Indonesia Raya itu dinyanyikan 2 kali. Satu lagi yang sangat disayangkan, saat lagu kebangsaan Thailand diperdengarkan masih banyak penonton yang berteriak dan membunyikan terompet. Perilaku yang sangat tidak pantas menurut saya. Coba bayangkan seandainya itu terjadi pada lagu kebangsaan kita.

Jalannya pertandingan cukup menarik. Tempo cepat dan permainan keras hingga berakibat wasit mengobral kartu. Perjuangan para Garuda muda, dengan dukungan puluhan ribu penonton berakhir manis. Kemenangan 3-1 memastikan langkah timnas melaju ke semifinal.

Tapi ada yang tak kalah menarik bagi saya selain permainan cantik yang diperagakan para Garuda muda. Ada yang lebih mengusik batin saya dari sekedar sebuah pertandingan cabang sepakbola Sea Games. Puluhan ribu orang dari berbagai latar belakang, golongan, daerah semuanya tumpah ruah menjadi satu. Mereka menyanyikan lagu yang sama, meneriakkan yel-yel yang sama, mengenakan kostum yang sama, mendukung tim yang sama, tanpa ada perintah, tanpa ada paksaan. Gerakan “Mexican Wave” pun bisa mengalir dari satu ujung tribun hingga ujung yang lain, tanpa ada sesi latihan bersama.

Saat bola mengalir ke pertahanan lawan, sontak semua orang beranjak dari duduknya dengan wajah penuh harap, tanpa ada komando dari siapapun. Saat bola berhasil dikuasai pemain lawan, serentak teriakan “Huuu….!!!” membahana di seluruh penjuru. Saat lesakan gol demi gol tercipta, lonjakan dan teriakan girang semua orang seolah mampu menggetarkan kokohnya salah satu stadion terbesar di Asia Tenggara ini. Saat peluang emas gagal berbuah gol, ekspresi kecewa tiba-tiba terpasang di wajah setiap orang. Saat keputusan wasit dianggap merugikan timnas atau saat pemain lawan melakukan pelanggaran keras, semua orang berteriak marah. Semuanya hanya untuk satu harapan, satu tujuan, Indonesia Juara.

Ternyata sore itu, di dalam stadion itu, demi sebuah pertandingan, demi sebuah kebanggaan, bangsa ini bisa bersatu. Ternyata bersatunya bangsa ini bukan hanya ada saat perjuangan melawan penjajah, sebagaimana tertulis dalam buku sejarah dan tertutur melalui cerita kakek nenek. Sebuah adagium bisa saya kemukakan: Pertandingan sepakbola bisa menyatukan bangsa.

Saya jadi berandai-andai, seandainya apa yang terjadi di dalam stadion sore itu bisa terjadi di luar stadion, di negeri tercinta ini, tentu dampaknya akan luar biasa. Ketika semua orang tak lagi mementingkan dari mana dia berasal, apa golongan dan kelompoknya, bagaimana latar belakangnya. Ketika semua sadar sedang menghadapi lawan yang sama, tak ada lagi pertempuran antar sesama. Ketika setiap peluang dan potensi dimanfaatkan untuk mencapai harapan yang sama, harapan bersama, bukan sebaliknya. Ketika setiap keberhasilan dirayakan dengan kegembiraan, dengan kebahagiaan semua orang, bukan sebaliknya. Ketika setiap kegagalan membuahkan kekecewaan, tapi tetap diiringi tekad, dukungan dan kemauan untuk kembali melawan. Bukan hujatan, cacian, dan omelan yang dilontarkan. Ketika pihak-pihak ingin mengacaukan, merugikan, mengambil keuntungan, semua orang marah lalu melawan.

Ah itu angan-angan yang terlalu berlebihan mungkin. Terlalu jauh. Mari berangan-angan yang lebih sederhana saja. Seandainya sepakbola berhasil menjadi juara dan kembali merajai, paling tidak di level Asia Tenggara. Seandainya suatu saat ketika hasil pertandingan tidak sesuai harapan, dukungan tak berkurang, tetap luar biasa seperti sore itu.

Hmmm… bukan seandainya, tapi SEMOGA.

 
Leave a comment

Posted by on November 14, 2011 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Sumpah Pemuda, Riwayatmu Kini…

Seandainya ada lembaga yang mau mengadakan survey soal Sumpah Pemuda, dengan responden segala macam pemuda dari seluruh wilayah Indonesia, menurut perkiraan saya hasilnya kurang lebih akan seperti ini: Dari 10 orang responden hanya 8 yang tahu tentang Sumpah Pemuda. Dari 8 orang yang tahu soal Sumpah Pemuda, tak akan lebih dari 5 orang yang hafal isi teksnya. Kalau ditelusur lebih jauh, jumlah orang yang mengamalkan isi Sumpah Pemuda kemungkinan akan lebih kecil lagi. Asumsinya tak semua orang yang tahu dan hafal, akan mengamalkan isinya.

Saya sendiri termasuk golongan yang tahu tapi tidak hafal isi Sumpah Pemuda. Nah mumpung peringatan Sumpah Pemuda belum terlalu jauh, saya mencoba menghafal kembali isinya:

Versi aseli:

Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

 

versi Ejaan Yang Disempurnakan:

 

Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Peringatan Sumpah Pemuda memang sudah lewat. Bahkan peristiwa Sumpah Pemuda itu sendiri sudah terjadi lebih dari 83 tahun yang lalu. Masih perlukah kita menghafal isi teks tua itu? Masih perlukah kita sekedar mengetahui tentang maksud dan latar belakang hingga para pemuda pendahulu mengikrarkan sebuah sumpah? Masih perlukah kita menyimak cerita-cerita di balik lahirnya sumpah mulia ini?

Soal menghafal, atau mengetahui maksud, latar belakang, dan sekadar cerita di balik lahirnya Sumpah Pemuda itu pekerjaan mudah dan sepele. Cukup membaca salah satu bab dalam buku teks sejarah pun semuanya langsung terselesaikan. Bahkan hanya dengan memanfaatkan jasa mesin pencari di internet hal itu bisa dilakukan dengan lebih mudah dan cepat.

Yang jauh lebih penting sejatinya adalah soal pengamalan dan perwujudannya dalam kehidupan nyata. Di jaman penjajahan dulu, Sumpah Pemuda telah menjadi salah satu alat pemersatu bangsa. Dengan Sumpah Pemuda, para pemuda sejenak melupakan segala hal berbau golongan, kelompok, kedaerahan, kesukuan, untuk berfokus pada kepentingan bangsa. Untuk membela dan membebaskan tanah air dari belenggu kolonialisme. Untuk mempersatukan seluruh rakyat dengan media bahasa yang begitu dibanggakan dan dijunjung tinggi.

Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Berikut hasil pengamatan dengan kacamata awam saya:

Yang paling sederhana soal bahasa, penggunaan bahasa asing khususnya Inggris sudah menjadi hal yang sangat lumrah bahkan hukumnya mengarah ke “sunah” sebagai bahasa pergaulan di kalangan pemuda.  Lihat saja para pemuda yang lebih familiar dengan istilah semacam download, apload, atau link dibandingkan dengan istilah unduh, unggah, atau tautan.  Tak sekedar familiar, tapi mereka juga lebih suka dan bangga menggunakan bahasa Inggris dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.  Tak sedikit juga orang yang mengernyitkan dahi tanda kebingungan saat mendengar sebuah kata yang asing di telinga. Padahal kata itu adalah kata asli Indonesia yang langsung berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi ketika kata itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris mereka langsung menganggukkan kepala tanda faham maksudnya.

Soal bangsa dan tanah air, tampaknya sekarang tak sedikit orang yang malu menjadi orang Indonesia. Alih-alih bangga terhadap negerinya, mereka lebih banyak menyesal terlahir sebagai orang Indonesia asli.  Kalaupun tak malu atau menyesal menjadi orang Indonesia, tapi tak sedikit orang yang lebih bangga terhadap hal-hal berbau asing atau luar negeri dibandingkan negeri sendiri.  Contoh yang tentu sudah sering dibahas disana sini adalah soal penggunaan barang-barang atau produk.  Bagi kebanyakan orang produk asing atau merk asing dianggap lebih bagus, keren, dan bergengsi dibandingkan produk dalam negeri.  Contoh lain orang kita sering merasa rendah diri, minder jika berhadapan dengan orang asing khususnya “bule”.  Seringkali orang asing selalu dianggap lebih pintar, lebih jago, lebih hebat, dan lebih segalanya dibandingkan orang pribumi, hingga akhirnya orang-orang asing itu dipekerjakan dan digaji tinggi disini.

Contoh lain, banyak orang lebih bangga jika bisa berlibur atau sekedar berkunjung ke luar negeri dibandingkan jika berlibur di negeri sendiri.  Semakin jauh atau semakin besar atau semakin (dianggap) hebat negara yang dikunjungi, semakin banggalah dia. Padahal apa yang dikunjunginya disana sebenarnya mungkin juga ada disini.  Atau paling tidak keindahan dan kehebatan disini tak kalah dengan luar negeri.  Tapi tetap saja berlibur ke Paris dianggap jauh lebih hebat, lebih membanggakan, lebih bergengsi, dan lebih layak diceritakan pada orang-orang dibandingkan berlibur ke sebuah tempat di pedalaman Papua.

Itu semua hanyalah penilaian saya, yang semata-mata bersifat subjektif tanpa dasar ilmiah sedikitpun.  Itu hanyalah kegelisahan dan kekhawatiran saya, yang semoga tidak benar-benar terjadi.  Atau kalaupun sudah terjadi, tidak menjadi semakin menjadi-jadi.  Semoga semangat dan nilai-nilai luhur Sumpah Pemuda akan selalu tertanam terjaga didalam dada setiap warga negara Indonesia sampai kapanpun selama negara ini masih ada…

 
Leave a comment

Posted by on November 2, 2011 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Jabatan Adalah Fasilitas

Perjalanan rumah-kantor-rumah hampir selalu diwarnai konvoi moge atau mobil polisi patwal dengan sirine meraung-raung mengawal para pejabat dalam mobil mewah warna hitam nan gagah. Di tengah kemacetan, raungan sirine dan liukan moge polisi itu seolah isyarat agar pengguna jalan yang lain mempersilahkan sang pejabat untuk lewat duluan.  Entah sedang terburu-buru hendak kemana pejabat itu, mungkin negara sedang dalam kondisi darurat yang membutuhkan penanganan secepat mungkin.  Atau mungkin dia hanya sedang kebelet buang air kecil karena AC mobil mewahnya terlalu dingin (harusnya mobilnya dilengkapi toilet).  Atau mungkin yang di dalam mobil itu adalah istrinya yang sedang terburu-buru karena terlambat datang arisan panci. Saat rakyat jelata harus terjebak macet, dia bisa melaju dengan lancar jaya sambil mengatakan: “Emang enak jadi rakyat jelata…”.  Saat orang lain berdesak-desakan dalam kereta dan bis kota, dia bisa ongkan-ongkang kaki di dalam kabin mobil mewahnya.

Betapa nikmatnya hidup pejabat itu.

Tapi hidupku juga nikmat, bahkan jauh lebih nikmat.

Naik motor butut pemberian orang tua dari jaman SMA,teriring rasa sayang dan doa semoga motor ini bisa mengantarkan menuju kesuksesan, yang bahan bakarnya dibeli dari hasil nguli, rasanya jauh lebih nikmat daripada mobil mewah pinjaman -yang sudah dianggap milik sendiri- yang dibeli dengan uang rakyat yang begitu murah hati yang sekaligus membelikan bahan bakarnya. Bahkan naik sepeda reotku jauh lebih menyenangkan. Paling tidak untuk menembus kemacetan, tak perlu jasa para pengawal.

Mobil mewah dan pengawalan khusus anti macet itu hanyalah segelintir fasilitas yang sudah menjadi konsekuensi sebagai seorang pejabat di Negeri tercinta ini. Masih banyak fasilitas lain yang harus mereka terima dengan bergembira ria dan berfoya-foya. Rumah dinas, tempat parkir khusus di kantor, ruangan kerja yang super besar dengan fasilitas super lengkap, belum lagi gaji besar dan tetek-bengek tunjangan dengan aneka rupa sebutannya.  Atau yang lebih remeh temeh semisal fisilitas lift khusus pejabat, yang ukuran dan kapasitasnya sama dengan lift lain tapi hanya boleh memuat orang-orang dengan kriteria tertentu sahaja.  Mungkin agar tidak gaptek, para pejabat pun diberikan (baca: meminta, penulis) fasilitas gadget canggih terbaru -yang entah apa kegunaannya dan semoga mereka bisa mengoperasikannya dengan baik dan benar.

Karena di Negeri ini jabatan itu identik dengan fasilitas.  Mungkin tanggung jawab yang diemban para pejabat itu sebegitu besarnya sehingga harus dikompensasi dengan setumpuk fasilitas mewah yang sebanding. Tapi toh kenyataannya tidak begitu. Fasilitas melimpah itu tak membuat kinerja mereka jadi lebih baik. Bahkan fasilitas mewah itu tak menghalangi sebagian diantaranya melakukan kecurangan dan kejahatan. Padahal di sisi lain masih banyak rakyat jelata yang hidupnya masih jauh dari kata sejahtera. Bukankah Khalifah Umar bin Khattab menolak makan roti gandum dan lebih memilih roti gersh (yang harganya lebih murah dan rasanya tidak seenak gandum), karena masih ada rakyatnya yang tidak bisa memperoleh gandum.

Dan bukankah tanggung jawab besar sebagai pejabat sudah dikompensasi dengan gaji dan tunjangan yang juga besar. Kalau seorang kuli bisa beli sepeda butut dari hasil menabung gaji, logikanya seorang pejabat bisa beli mobil dari hasil menabung gajinya juga. Kalau sudah begitu tak perlu lah itu mobil dinas. Kalau seorang kuli bisa kredit rumah reot yang cicilannya setengah dari gaji, maka seorang pejabat pun harusnya bisa kredit rumah megah karena sepertiga gajinya pun lebih dari cukup untuk mencicil.

Nampaknya pesan Uncle Ben pada Peter Parker: “Great power comes with great responsibility” tak berlaku disini.  Yang ada “Very very great facility comes with not-so-great responsibility”

 
Leave a comment

Posted by on October 26, 2011 in Lain-lain, Uneg-uneg