RSS

Monthly Archives: March 2012

Di Manakah Si Budi dan Keluarganya?

Hari Minggu ­­kemarin, saya mengunjungi pameran buku bertajuk Islamic Book Fair 2012 di Istora Senayan.  Hari itu adalah hari terakhir pameran maka wajar saja kalau pengujungnya membludak.  Di beberapa lokasi bahkan pengunjung harus berdesak-desakan dalam kemacetan layaknya Jalan Sudirman saat jam pulang kantor.   Untuk berjalan sejauh 10 meter saja membutuhkan waktu hingga beberapa menit.

Saya memang suka membeli buku, baik untuk dibaca maupun sekedar memenuhi rak buku yang memang sudah penuh.  Tapi kali ini tujuannya bukan untuk menambah koleksi buku saya.  Tawaran menyumbang buku untuk TK Islam baru di kampung lah yang menjadi motivasi saya.  Itupun karena istri saya yang bersikeras mengajak kesana, mumpung ada pameran kan pasti banyak diskon.  Padahal saat itu dia sedang kurang sehat.  Tapi itulah istri saya, motivasi berbuat untuk orang lain terkadang mengabaikan dirinya sendiri.  Mungkin itu juga salah satu yang membuat saya kagum kepadanya.

Karena mencari buku untuk TK maka fokus pencarian saya di bagian buku anak, dan tentunya yang menawarkan diskon besar-besaran.  Asyik mencari, tiba-tiba mata saya terusik oleh sebuah judul buku yang cukup kotroversial menurut saya.  “Persiapan Memasuki SD. Dilengkapi dengan soal-soal latihan.

Sekilas mungkin tidak ada yang aneh dengan judul buku itu.  Saat membaca judul utamanya “Persiapan Memasuki SD” saya coba menebak isinya.  Saya pikir isinya kurang lebih adalah panduan bagi orang tua untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi anaknya yang akan masuk SD.  Entah seperti apa persiapan yang dimaksud tapi yang jelas buku itu adalah untuk orang tua, sama sekali bukan untuk anak yang akan masuk SD.  Tapi judul tambahannya “Dilengkapi soal-soal latihan” itu yang agak menggelitik benak saya.  Satu pertanyaan besar muncul: Memangnya masuk SD ada tes nya ya?

Sebenarnya saya tidak terlalu kaget juga.  Beberapa teman pernah bercerita bahwa sekarang ini untuk masuk SD setiap anak minimal harus sudah bisa membaca.  HAAA….!!! APA….!!! Itulah reaksi saya pertama kali mendengar kabar itu, walaupun hanya dalam hati sih.

Entah kenapa bisa begitu.  Mungkin anak-anak jaman sekarang dilahirkan jauh lebih cerdas sehingga sebelum masuk sekolah formal pun sudah bisa membaca.  Atau kemajuan teknologi yang begitu pesat menuntut anak-anak harus bisa membaca lebih awal agar minimal bisa mengikutinya.  Atau bangsa ini sudah merasa begitu terpuruk sehingga untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain, anak-anak harus sudah mulai membaca bahkan sebelum masuk SD.  Ah, entahlah.  Mungkin hanya Tuhan dan sang supir yang tahu, kemana bajaj hendak belok.

Jaman dulu, kalau ada anak yang sudah bisa membaca saat masuk SD maka semua orang akan kagum dan memujinya sebagai anak hebat, pintar, cerdas, dan segala macam pujian lainnya.  Walaupun kemudian saya justru kasihan dengan anak-anak semacam itu.  Karena begitu masuk SD, kelas 1, pelajaran utamanya ya hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung.  Lha kalau anak sudah bisa membaca mau belajar apa lagi dia di kelas? Kasihan bukan? Bisa-bisa dia merasa bosan dan akhirnya tak mau lagi sekolah.

Kembali ke jaman sekarang, kemampuan membaca sebelum sekolah bukan hanya dianggap sesuatu yang lumrah, tapi justru menjadi syarat untuk masuk sekolah.  Mungkin memang tak semua SD yang mensyaratkan kemampuan membaca ini.  Pertanyaan saya masih sama, kalau masuk SD anak sudah mahir membaca, lalu di kelas 1 SD mereka mau belajar apa? Yang jelas sudah tak ada lagi pelajaran membaca yang diawali dengan pengenalan huruf.  Dilanjutkan dengan belajar mengeja, lalu membaca potongan kata yang akhirnya membentuk kalimat sederhana.

Bagian inilah bagian favorit saya.  Saat sudah mulai bisa membaca potongan kalimat, dikenalkanlah saya pada seorang tokoh legendaris sekaligus misterius.  Legendaris karena hampir semua buku untuk tingkatan itu selalu menyebut-nyebut namanya, dan saya yakin hampir seluruh anak di negeri ini pada masa itu kenal dengannya.  Misterius karena sampai saat ini saya tidak pernah tahu dari mana asal usulnya dan siapa sebenarnya tokoh ini.  Tak hanya sendirian, dia juga selalu membawa serta keluarganya.

Mungkin anda sudah bisa menebak, tokoh itu adalah si Budi dan keluarganya.  Mungkin anda mengernyitkan dahi sesaat…  Tapi sesaat kemudian anda pasti mengatakan: “Ohhh…”

Ya betul sekali, itulah maksud saya.  Pelajaran membaca pertama saya di SD –dan mungkin seluruh SD di Indonesia pada era itu- adalah kalimat “Ini Budi… Ini Ibu Budi… Ini Bapak Budi… Ini Adik Budi…”

Maka jika sekarang untuk masuk SD setiap anak harus sudah pandai membaca, maka tentu tak ada lagi pelajaran membaca seperti apa yang saya pelajari dulu itu.  Kalau sudah begitu, lalu bagaimana nasib si Budi dan Keluarganya yang legendaris tetapi misterius itu? Di manakah mereka sekarang berada?

 

 
Leave a comment

Posted by on March 19, 2012 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Turunkan BBM…! Naikkan Rok Mini…!

Setiap kali ada paraturan baru yang akan dibuat, selalu ada protes dan penolakan.  Mungkin memang itulah tabiat sistem demokrasi.  Setidaknya itulah kesimpulan saya setelah mengamati sistem demokrasi bertabur kebebasan di Indonesia pada era reformasi ini.  Entah apa landasan teorinya, jangan tanyakan pada saya.  Bisa jadi teori itu tidak pernah dikemukakan oleh profesor manapun.

Akhir-akhir ini setidaknya ada 2 topik yang cukup menarik dan mengusik nalar saya.  Yang pertama adalah soal rencana kenaikan harga BBM.  Dari perkembangan terbaru, bisa jadi ini bukan lagi sekedar rencana tetapi sudah menjadi keputusan.  Tinggal menunggu tanggal mainnya saja.

Dengan besaran kenakan sebesar Rp1.500,- tentu saja protes, demo, kecaman, keributan, dan segala macam bentuk penolakan terjadi dimana-mana.  Jangankan sebesar itu, kenaikan 500 perak pun saya yakin tak akan kalah hiruk-pikuknya.  Walaupun pemerintah sudah menjanjikan kompensasi berupa santunan –atau apapun lah namanya- uang tunai kepada rakyat yang memang membutuhkan, tetapi hal ini tidak cukup menjadi penghibur.  Di mana-mana mahasiswa berdemo.  Motivasinya mungkin macam-macam.  Ada yang benar-benar karena idealismenya, karena jiwa pejuangnya, karena rasa solidaritasnya, atau sekedar takut dicap sebagai banci dan mendapat kiriman (maaf) pakaian dalam jika tidak ikut turun ke jalan.  Atau bahkan hanya motivasi pribadi karena takut uang sakunya tak cukup lagi untuk ongkos jika harga BBM naik.

Tak hanya mahasiswa yang bersuara, penolakan dari partai oposisi pun tak kalah hebatnya.  Kalau yang satu ini setahu saya apapun peraturannya pasti ditolak.  Untuk saat ini yang paling bersemangat menolak, siapa lagi kalau bukan partai yang ketuanya juga pernah jadi orang nomor satu di negeri ini.  Tidak peduli apapun rencana peraturan yang akan ditetapkan pemerintah, mereka ini selalu menolak dan tidak setuju.  Seolah-olah dulu saat mereka berkuasa telah melakukan sesuatu yang lebih baik.

Kembali lagi ke soal kenaikan BBM, saya tidak mau berpendapat setuju atau menolak.  Selain karena pendapat saya tidak ada pengaruhnya, saya juga mengalami dilema.  Di satu sisi kenaikan harga BBM bersubsidi tidak terlalu berdampak langsung pada saya.  Karena toh selama ini saya lebih banyak menggunakan BBM non subsidi untuk menghidupi motor saya.  Apakah karena motor saya masih baru sehingga begitu dimanjakan dengan BBM non subsidi?  Sama sekali bukan, karena anda mungkin kaget ketika tahu bahwa motor yang sedang saya bicarakan adalah sebuah Honda Astrea Supra keluaran tahun 2001 yang saya pakai sejak kelas 3 SMA.  Alasan utama semata-mata karena saya merasa tidak layak untuk menggunakan BBM bersubsidi.  Mungkin saya sudah terdoktrin oleh tulisan di spanduk-spanduk yang bertuliskan “BBM bersubsidi hanya untuk golongan tidak mampu”.  Sementara saya lebih suka merasa sebagai orang mampu, dan kenyataannya Alhamdulillah saya memang masih mampu membelinya.

Alasan lain saya menggunakan BBM non subsidi adalah agar bisa lebih hemat energi dan mengurangi polusi.  Kok bisa?  Dengan harga yang jauh lebih mahal hingga 2 kali lipat dibanding BBM subsidi, saya menjadi lebih “bijaksana” dalam pemakaiannya –kalau tidak boleh disebut “pelit”.  Misalnya untuk pergi ke kantor, saya tidak tiap hari menggunakan motor.  Setidaknya seminggu sekali saya bersepeda ke kantor.   Sesekali saya juga naik bus atau kereta.  Dengan begitu konsumsi BBM motor saya menjadi lebih hemat.  Selain itu setiap kali berhenti di lampu merah, saya lebih sering mematikan mesin motor, terutama lampu merah yang agak lama.  Mungkin penghematan yang saya dapat dari cara kedua ini hanya beberapa tetes BBM.  Tapi kelak ketika tak ada lagi sumber minyak yang bisa digali, barulah terasa manfaat tetesan-tetesan itu.

Di sisi lain, saya juga was-was dan galau dengan kenaikan harga BBM.  Selain membayangkan inflasi dan naiknya harga barang-barang sebagai dampak kenaikan ini, secara lebih spesifik yang membuat saya galau adalah kemungkinan naiknya harga bahan bangunan.  Jika kenaikan harga BBM ini memicu kenaikan harga bahan bangunan secara signifikan, maka bisa-bisa rencana KPR saya amburadul.  Semoga yang kedua ini tidak terjadi.  Amin…

Topik lain yang juga mengusik saya adalah rencana Ketua DPR untuk melarang pemakaian rok mini di lingkungan gedung DPR.  Berbagai reaksi muncul atas rencana peraturan ini.  Datangnya dari berbagai pihak, mulai sejawat anggota DPR, media, seniman, aktivis perempuan, hingga rakyat jelata.  Saya yakin sebenarnya banyak pihak yang setuju dan mendukung, tetapi tentu tidak menarik dan menjual jika headline beritanya adalah “Dukungan untuk Pelarangan Rok Mini” atau yang sejenisnya.  Makanya hampir semua media mengekspos pendapat yang menolak dan menentang.  Karena dari penolakan itulah banyak yang bisa digali dan menarik untuk dijual.

Yang lebih mengusik pikiran saya adalah siapa pihak-pihak yang selalu menolak ini?

Menurut saya, yang menolak sebuah peraturan adalah pihak-pihak yang akan terkena dampak baik secara langsung maupun tidak langsung.  Sebagai contoh saat muncul wacana hukuman mati bagi koruptor, yang menyuarakan penolakan paling lantang tentu saja para koruptor itu sendiri.  Koruptor yang saya maksud meliputi orang yang sudah melakukan, yang belum melakukan tetapi berniat untuk melakukannya suatu saat, serta orang yang tidak melakukan tetapi mendapat manfaat dari korupsi yang terjadi.  Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang menggunakan jasa para aktivis HAM untuk menyuarakan penolakan itu.

Mungkin kondisi berbeda terjadi ketika ada wacana pelarangan rok mini di lingkungan kantor DPR.  Para pengguna rok mini mungkin ikut menyuarakan penolakan.  Yang juga ikut menolak mungkin adalah aktivis fashion, desainer, aktivis HAM, dan penjual rok mini.  Tetapi saya khawatir penolakan paling keras justru datang dari pihak yang bahkan tidak pernah menggunakan rok mini.  Mereka adalah para penikmat atau orang-orang yang banyak mendapat manfaat dari penggunaan rok mini.  Kenikmatan dan manfaat seperti apa yang mereka dapat? Biarkan imajinasi anda yang menjawabnya.

Daripada ribut-ribut terus, sebaiknya mari kita Turunkan BBM dan Naikkan Rok Mini….

 
Leave a comment

Posted by on March 16, 2012 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Penganggaran Berbasis Kinerja: Sebuah Pendekatan Baru dalam Sistem Perencanaan dan Penganggaran

 

 1.       Reformasi Perencanaan dan Penganggaran

a.      Tonggak Sejarah Reformasi

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan produk undang-undang yang menjadi tonggak sejarah reformasi di bidang perencanaan dan penganggaran nasional.  Dalam kedua undang-undang tersebut, berbagai aspek dalam ranah perencanaan dan penganggaran mengalami perubahan yang mendasar dan cukup signifikan.  Banyak hal-hal baru yang diatur dan diamanatkan oleh Undang-undang ini.

Satu hal baru yang sangat penting adalah diperkenalkannya sebuah pendekatan baru dan semangat untuk mengimplementasikannya dalam sistem perencanaan dan penganggaran.  Pendekatan baru dimaksud meliputi 3 hal yaitu:

1)      Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting);

2)      Penganggaran Terpadu (Unified Budget); dan

3)      Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework).

Sebagai wujud pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, serta mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (yang selanjutnya disebut RKA-KL).  Dalam pasal 4 peraturan tersebut secara tegas disebutkan bahwa RKA-KL disusun dengan menggunakan tiga pendekatan yang disebutkan di atas.  Dalam perkembangannya, peraturan ini telah disempurnakan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-KL yang merevisi beberapa ketentuan dalam peraturan sebelumnya.

b.      Pendekatan Baru Sistem Perencanaan dan Penganggaran

Ketiga pendekatan baru dalam sistem perencanaan dan penganggaran merupakan suatu kesatuan yang integral dengan fokus utama pada penganggaran berbasis kinerja.  Dua pendekatan lainnya merupakan prasyarat dan pendukung pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja.  Penerapan penganggaran terpadu dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dengan memberikan gambaran yang lebih objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah.  Sedangkan kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara berkesinambungan serta menjadi jaminan kontinyuitas penyediaan anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga 3 atau 5 tahun ke depan.

2.       Penganggaran Berbasis Kinerja

a.      Konsep PBK

Penganggaran berbasis kinerja merupakan sebuah pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.  Ciri utama penganggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input), keluaran (output), dan hasil yang diharapkan (outcomes) sehingga dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan efisiensi pelaksanaan setiap kegiatan.  Penerapan penganggaran berbasis kinerja diharapkan diharapkan dapat memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/kegiatan pada suatu Kementerian/Lembaga serta dampak atau hasilnya yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Dalam konsep pendekatan PBK, dituntut adanya keterkaitan yang erat antara anggaran dengan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu setiap unit organisasi pemerintah harus dapat menetapkan rumusan kinerja yang ingin dicapainya. Kinerja yang telah direncanakan tersebut harus bersifat terukur pencapaiannya. Untuk itu setiap unit juga harus menetapkan indikator kinerja tertentu untuk mengukur pencapaian kinerjanya. Yang jauh lebih penting, indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap unit organisasi.  Jadi informasi kinerja ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses perencanaan dan penganggaran.  Rumusan indikator kinerja beserta targetnya selanjutnya juga harus dinyatakan di dalam dokumen perencanaan termasuk Renja-KL dan RKA-KL.

Diagram 1. Kerangka PBK Tingkat KL

b.      Prinsip dan Tujuan

Penerapan PBK berpedoman pada tiga prinsip utama sebagai berikut:

Output and outcome oriented

Prinsip ini mengandung makna bahwa pengalokasian anggaran harus berorientasi pada kinerja yang akan dicapai –yang dinyatakan dalam keluaran (output) dan hasil (outcome).  Pengalokasian anggaran tidak lagi berorientasi pada ketersediaan dana (input).  Anggaran yang tersedia merupakan rencana biaya yang memang dibutuhkan untuk mencapai suatu target kinerja yang telah ditetapkan.

Let the manager manages

Prinsip ini menunjukkan adanya fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas.  Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dalam hal ini bertindak sebagai manajer diberikan keleluasaan dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasil yang telah direncanakan.  Keleluasaan tersebut meliputi penentuan cara dan tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan.  Cara dan tahapan kegiatan tersebut memungkinkan adanya perbedaan antara yang telah direncanakan dengan pelaksanaannya.  Akan tetapi setiap manajer tetap harus bertanggung jawab penuh atas penggunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan.

Money follow function, function followed by structure

Money follow function menggambarkan bahwa pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi setiap unit sesuai dengan maksud pembentukannya.  Sedangkan Function followed by structure menggambarkan bahwa struktur irganisasi yang dibentuk telah sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap unit.  Tugas dan fungsi tersebut telah dibagi habis dalam struktur organisasi unit yang bersangkutan sehingga dapat dipastikan tidak terjadi duplikasi tugas dan fungsi.  Dari kedua prinsip ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:

–      tercapainya efisiensi alokasi anggaran karena tidak adanya overlapping tugas, fungsi, atau kegiatan;

–      pencapaian output dan outcome dapat dilakukan secara optimal karena kegiatan yang diusulkan setiap unit benar-benar merupakan pelaksanaan dari tugas dan fungsinya.

Sedangkan tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan PBK adalah sebagai berikut:

  1. Menunjukkan keterkaitan langsung antara pendanaan dan kinerja yang akan dicapai;
  2. Meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan kegiatan;
  3. Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran.

c.       Komponen

Agar penerapan PBK dapat dilaksanakan secara penuh, diperlukan adanya 3 komponen utama yang harus tersedia.  Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan adanya 3 hal yaitu:

–      indikator kinerja;

–      standar biaya; dan

–      evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.

Sedangkan pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90 Tahun 2010 menyatakan secara lebih tegas bahwa ketiga hal tersebut merupakan instrumen yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL.  Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa idealnya ketiga komponen tersebut mutlak harus ada dalam proses PBK.  Penjelasan ketiga komponen itu adalah sebagai berikut:

Indikator kinerja

Indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan.  Dalam konteks penerapan PBK ini, indikator kinerja dibagi menjadi 3 level, yaitu:

–      Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk menilai tingkat keberhasilan Program;

–      Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) untuk menilai tingkat keberhasilan Kegiatan; dan

–      Indikator Keluaran untuk menilai tingkat keberhasilan Subkegiatan.

Standar biaya

Standar Biaya adalah satuan biaya atau harga tertinggi dari suatu barang dan jasa baik secara mandiri maupun gabungan yang diperlukan untuk memperoleh keluaran tertentu dalam rangka penyusunan anggaran berbasis kinerja.  Standar Biaya dapat bersifat umum atau bersifat khusus.  Standar Biaya Umum (SBU) adalah satuan biaya yang merupakan batas tertinggi yang berlaku secara nasional, dimana penggunaannya bersifat lintas Kementerian Negara/Lembaga atau lintas wilayah.  Sedangkan Standar Biaya Khusus (SBK) adalah standar biaya yang digunakan untuk kegiatan yang khusus dilaksanakan Kementerian Negara/Lembaga tertentu atau di wilayah tertentu.  Idealnya standar biaya yang digunakan adalah standar biaya keluaran.  Akan tetapi pada tahap awal penerapan PBK, standar biaya yang digunakan adalah standar biaya masukan.

Evaluasi kinerja

Evaluasi kinerja adalah proses untuk menghasilkan informasi capaian kinerja yg telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan anggaran (dalam hal ini RKA-KL).  Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara target kinerja dengan hasil yang dicapai, serta membandingkan rencana penggunaan dana dengan realisasinya.  Proses ini sangat penting untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara pendanaan dengan capaian kinerja.  Tujuan lain dari evaluasi kinerja adalah untuk mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan serta sebagai umpan balik (feed back) untuk penyusunan RKA-KL dan perbaikan kinerja pada tahun berikutnya.

d.      Implementasi dan Permasalahan

Konsep PBK sudah muncul pertama kali dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, walaupun hanya diungkapkan pada bagian penjelasan.  Itu berarti semangat dan cita-cita untuk menerapkan PBK sudah dimulai sejak 9 tahun yang lalu.  Semangat dan cita-cita itu kemudian ditegaskan di dalam PP Nomor 21 Tahun 2004.  Akan tetapi sampai dengan Tahun Anggaran 2011 yang lalu, PBK masih belum diterapkan secara penuh.  Saat ini penerapan PBK bisa dikatakan masih berada pada masa transisi.  Implementasi PBK secara nyata dan komprehensif dimulai pada tahun 2009 dengan keluarnya Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala Bappennas dan Menteri Keuangan yang berisi Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran.  SEB tersebut berisi 5 buah modul yang menjelaskan secara detail mengenai konsep dan langkah-langkah kerja sebagai wujud implementasi reformasi perencanaan dan penganggaran, khususnya penerapan PBK.

Tahap-tahap implementasi PBK selengkapnya bisa dilihat pada diagram di bawah ini:

 

Diagram 2. Siklus Implementasi PBK

 

 

Dari diagram tersebut tampak bahwa penerapan PBK merupakan sebuah siklus, yang terintegrasi dengan siklus perencanaan dan penganggaran.  Siklus penerapan PBK sendiri terdiri dari 8 tahapan.  Tahap pertama yaitu penetapan sasaran strategis telah dilaksanakan seiring dengan penyusunan Renstra KL (sebagai dokumen perencanaan periode 5 tahun), yang selanjutnya dituangkan dalam dokumen manajemen kinerja berbasis BSC (sebagai dokumen periode 1 tahun).

Tahap penetapan outcome, program, output, dan kegiatan telah dilaksanakan dengan adanya restrukturisasi program dan kegiatan seluruh Kementerian/Lembaga.  Hal ini dilakukan dengan tujuan agar struktur program dan kegiatan beserta indikator kinerjanya dapat digunakan sebagai alat ukur efektivitas pencapaian sasaran pembangunan, efisiensi belanja, dan akuntabilitas kinerja.  Proses restrukturisasi program dan kegiatan ini telah dimulai pada tahun 2010 dan hasilnya mulai diterapkan pada TA 2011.  Hasil dari restrukturisasi ini diantaranya adalah setiap unit eselon I di seluruh Kementerian/Lembaga mempunyai satu rumusan program yang unik sehingga tidak ada lagi sebuah program yang dilaksanakan oleh beberapa unit eselon I.

Dengan diberlakukannya sistem manajemen kinerja berbasis BSC, penetapan IKU program dan IK kegiatan dilakukan dengan bisa memanfaatkan dokumen sumber dari sistem tersebut.  IKU dan IKK dalam penerapan PBK adalah IKU yang telah dirumuskan dalam dokumen BSC (yang selanjutnya dituangkan dalam kontrak kinerja).  Akan tetapi terdapat permasalahan dalam penetapan IKU dan IKK ini.  IKU dan IKK dituangkan dalam Renja KL dan RKA-KL, yang harus disusun sebelum dimulainya Tahun Anggaran (TA).  Sedangkan kontrak kinerja selama ini baru disusun pada awal TA berjalan.  Sehingga IKU dan IKK yang digunakan mengacu pada kontrak kinerja TA sebelumnya.  Permasalahan muncul ketika terdapat perubahan IKU dari tahun sebelumnya.  Sementara dalam sistem perencanaan dan penganggaran sejauh ini tidak menyediakan prosedur revisi IKU dan IKK.

Tahap keempat yaitu penetapan standar biaya justru telah dimulai pada TA 2007.  Dengan terbitnya PMK Nomor 96 Tahun 2006 tentang Standar Biaya Tahun 2007, standar biaya mulai digunakan dalam penyusunan RKA-KL.  Standar biaya berlaku untuk 1 TA dan pada TA berikutnya akan ditetapkan standar biaya yang baru untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi perekonomian khususnya terkait inflasi.

Tahap penghitungan kebutuhan anggaran sekaligus pengalokasiannya merupakan tahap yang membutuhkan perhitungan matematis dan detail tentang kebutuhan kebutuhan anggaran untuk membiayai pelaksanaan kegiatan selama 1 tahun yang akan datang.  Tahap ini diawali dengan penetapan fokus prioritas, baik di tingkat nasional, tingkat KL, maupun tingkatan di bawahnya.  Selanjutnya harus ditetapkan target yang akan dicapai oleh setiap unit selama satu TA.  Dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang ada, seluruh program dan kegiatan beserta target-targetnya dituangkan dalam rincian pendanaan dengan mengacu pada standar biaya yang berlaku.  Sedangkan tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban dilaksanakan dengan mengacu pada sistem perbendaharaan dan pertanggungjawaban yang berlaku.

Tahap terakhir yaitu pengukuran dan evaluasi kinerja hingga saat ini belum dilaksanakan.  Selain karena implementasi PBK secara penuh baru dimulai pada TA 2011, pedoman sekaligus petunjuk teknis pelaksanaan pengukuran dan evaluasi kinerja baru ditetapkan pada akhir tahun 2011 dengan terbitnya PMK Nomor 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan RKA-KL.  PMK ini mengatur secara rinci mengenai aspek apa saja yang akan dilakukan pengukuran dan evaluasi, termasuk tata cara perhitungan dan pengukurannya, serta kebutuhan data dan infrastruktur pendukung yang harus tersedia.  Belum ada kepastian kapan ketentuan dalam PMK ini akan mulai diberlakukan.

Di samping 8 tahap yang digambarkan dalam diagram, bentuk implementasi lainnya adalah penggunaan format baru RKA-KL yang juga mulai diterapkan pada Tahun Anggaran 2011.  Format baru ini dirancang untuk dapat memfasilitasi penerapan PBK dengan memberikan informasi yang lebih jelas tentang perencanaan dan penganggaran.  Format baru ini diharapkan dapat menyajikan informasi kinerja dan keterkaitan antara biaya, kegiatan, keluaran, program, dan hasil secara jelas.  Salah satu perbedaan utama dalam format baru ini adalah penyederhanaan dokumen RKA-KL yang sebelumnya terdiri dari 13 formulir menjadi hanya 3 formulir saja.

e.       Peluang dan Tantangan

Penerapan PBK memang diharapkan akan memberikan banyak manfaat sekaligus mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam sistem perencanaan dan penganggaran yang sudah berlaku.  Akan tetapi PBK baru akan memberikan dampak yang signifikan ketika diterapkan secara optimal dan konsisten.  Di masa transisi sekarang ini masih terdapat beberapa permasalahan terkait penerapan PBK, diantaranya masih adanya anggapan bahwa anggaran merupakan “jatah” yang harus dihabiskan oleh setiap unit untuk melaksanakan kegiatannya selama satu TA.  Persoalan lain adalah terkait perumusan indikator kinerja yang belum sepenuhnya dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan atau program.  Akan tetapi dengan komitmen dan kontribusi semua pihak serta adanya dukungan perangkat peraturan yang komprehensif, diharapkan akan terus terjadi perbaikan dan kemajuan dalam penerapan PBK.

 

 

 
13 Comments

Posted by on March 15, 2012 in Lain-lain, Serius nan Ngilmiah

 

Keterkaitan Antara RKA-KL dengan RENSTRA, RENJA, dan BSC

LAPORAN HASIL EVALUASI

KETERKAITAN ANTARA RKA-KL DENGAN RENSTRA, RENJA, DAN BSC

  1. 1.       LATAR BELAKANG

Salah satu pendekatan yang digunakan dalam penyusunan dokumen anggaran, dalam hal ini RKA-KL, adalah pendekatan penganggaran berbasis kinerja.  Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan suatu pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan kinerja yang diharapkan, serta memperhatikan efisiensi dalam pencapaian kinerja tersebut.  Dalam pendekatan ini pengalokasian anggaran berorientasi pada kinerja sehingga diharapkan akan menunjukkan keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja yang ingin dicapai.  Untuk menunjukkan keterkaitan tersebut, pendekatan PBK mensyaratkan adanya indikator kinerja yang merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kinerja.  Khusus untuk lingkup Kementerian Keuangan, sejak tahun 2010 pengelolaan dan pengukuran kinerja di setiap unit Eselon I menggunakan sistem manajemen kinerja berbasis balanced scorecard yang dituangkan dalam sebuah Kontrak Kinerja.

Di samping itu, prinsip utama dalam penerapan PBK ini adalah adanya keterkaitan yang jelas antara kebijakan yang terdapat dalam dokumen perencanaan nasional dan alokasi anggaran yang dikelola Kementerian/Lembaga (KL) sesuai tugas-fungsinya. Dokumen perencanaan tersebut meliputi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Renja-KL. Sedangkan alokasi anggaran yang dikelola KL tercermin dalam dokumen RKA-KL dan DIPA yang merupakan dokumen yang bersifat tahunan. Renja-KL sebagai dokumen perencanaan pembangunan tahunan di lingkup KL merupakan penjabaran dari Renstra-KL yang merupakan rencana pembangunan jangka menengah untuk periode 5 tahun.

Seluruh dokumen tersebut merupakan bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan sebuah proses yang sistematis dan terpadu.  Karena sistem perencanaan pembangunan nasional merupakan sebuah proses yang sistematis dan terpadu, maka seluruh tahapan dan dokumen-dokumen yang dihasilkan harus menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lainnya.  Keterkaitan tersebut meliputi keterkaitan visi dan misi, program, kegiatan, termasuk kinerja yang ingin dicapai dan indikator yang digunakan untuk mengukurnya.

  1. 2.       TUJUAN

Laporan ini bertujuan untuk mengevaluasi keterkaitan antara dokumen-dokumen perencanaan yang digunakan oleh KL yang meliputi Renstra-KL, Renja-KL, RKA-KL, dengan dokumen manajemen kinerja berbasis balanced scorecard.  Keterkaitan yang dievaluasi terutama dalam hal indikator kinerja yang digunakan dalam setiap dokumen, baik dalam proses penetapannya, rumusan indikatornya, maupun dalam proses pelaporan atau evaluasinya.

  1. 3.       DASAR HUKUM
  2. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN;
  3. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
  4. UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP;
  5. PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
  6. PP Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional;
  7. PP Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-KL;
  8. PMK Nomor 93 Tahun 2011 tentang Juksunlah RKA-KL;
  9. KMK Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan;
  10. Permenpan Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penetapan IKU di Lingkungan Instansi Pemerintah.
  1. 4.       PEMBAHASAN

4.1.    Alur Sistem Perencanaan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan bahwa kerangka perencanaan pembangunan nasional meliputi: a) rencana pembangunan jangka panjang (RPJP); b) rencana pembangunan jangka menengah (RPJM); dan c) rencana pembangunan tahunan.  RPJP Nasional adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional.  RPJM Nasional adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program dalam rencana kerja yang bersifat indikatif.  Pada tingkatan Kementerian/Lembaga, RPJM ini selanjutnya disebut dengan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga atau lebih dikenal dengan Renstra-KL.

Rencana pembangunan 5 tahunan ini selanjutnya dijabarkan lagi dalam rencana pembangunan tahunan yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk tingkat Presiden serta Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-KL) untuk tingkat KL.  RKP dan Renja-KL merupakan dokumen perencanaan untuk periode 1 tahun. Renja-KL yang disusun dengan mengacu pada RKP dan pagu indikatif ini selanjutnya menjadi pedoman penyusunan RKA-KL. RKA-KL inilah yang menjadi muara dari dokumen perencanaan dan penganggaran. Selanjutnya RKA-KL ini akan menjadi dasar ditetapkannya dokumen pelaksanaan anggaran yaitu DIPA.

4.2.    Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)

Dalam konsep pendekatan PBK, dituntut adanya keterkaitan yang erat antara anggaran dengan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu setiap unit organisasi pemerintah harus dapat menetapkan rumusan kinerja yang ingin dicapainya. Kinerja yang telah direncanakan tersebut harus bersifat terukur pencapaiannya. Untuk itu setiap unit juga harus menetapkan indikator kinerja tertentu untuk mengukur pencapaian kinerjanya. Yang jauh lebih penting, indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap unit organisasi.  Jadi informasi kinerja ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses perencanaan dan penganggaran.  Rumusan indikator kinerja beserta targetnya selanjutnya juga harus dinyatakan di dalam dokumen perencanaan termasuk Renja-KL dan RKA-KL.

Terdapat 3 (tiga) tahapan utama dalam penerapan PBK, yaitu:

1)      persiapan;

2)      pengalokasian anggaran; dan

3)      pengukuran dan evaluasi kinerja.

Salah satu proses penting pada tahap persiapan adalah penyediaan dokumen sumber.  Langkah ini diperlukan dalam penyusunan informasi kinerja beserta rincian alokasi anggaran kegiatan yang mengarah pada pencapaian kinerja yang diharapkan.  Dokumen sumber yang digunakan meliputi LAKIP yang menyajikan data capaian kinerja tahun sebelumnya.  Informasi ini berguna sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya, termasuk target kinerja dan capaiannya.

Pada tahap pengalokasian anggaran, setelah ditetapkannya prioritas pada setiap tingkatan unit organisasi, langkah selanjutnya adalah penetapan target.  Langkah ini berkaitan erat dengan perumusan indikator kinerja, baik pada tingkat program maupun pada tingkat kegiatan.  Langkah selanjutnya adalah melihat dan memperhitungkan ketersediaan anggaran untuk selanjutnya dituangkan dalam rincian pendanaan dan detil biaya.

Tahap terakhir dari penerapan PBK adalah pengukuran dan evaluasi kinerja.  Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja yang telah dilaksanakan.  Sedangkan evaluasi kinerja merupakan salah satu alat analisa untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.  Hasilnya akan digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pada tahun yang akan datang.  Pada tahap ini, indikator kinerja mempunyai peran yang sangat penting.  Indikator kinerja yang meliputi IKU (di level Program) dan IKK (di level Kegiatan) beserta targetnya merupakan penerjemahan Tujuan dan Sasaran Strategis KL ke dalam bentuk yang lebih nyata dan terukur.

Tahap pengukuran dan evaluasi kinerja sampai saat ini memang masih belum dilaksanakan.  Tentang pengukuran dan evaluasi kinerja ini PMK  Nomor 93 Tahun 2011 tentang Juksunlah RKA-KL mempunyai penjelasan yang berbeda dengan Buku Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran yang ditetapkan oleh Menteri Negara PPN/Kepala Bappennas dan Menteri Keuangan.  PMK Nomor 93 Tahun 2011 menyatakan bahwa pengukuran dan evaluasi yang dilakukan adalah terhadap kinerja penganggaran.  Kegiatan ini dilakukan dalam rangka mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan kinerja penganggaran yang dimulai dari penyusunan perencanaan anggaran sampai dengan pelaksanaan anggaran.  Sebagai langkah awalnya adalah diterapkannya sistem reward dan punishment atas pelaksanaan anggaran belanja KL selama tahun anggaran 2010.  Dari penjelasan ini terkesan bahwa pengukuran dan evaluasi yang dilakukan adalah terbatas pada kinerja sistem perencanaan dan penganggaran yang ada dalam sebuah unit organisasi, bukan kinerja pelaksanaan program dan kegiatan unit organisasi dalam mencapai tujuan dan sasarannya.

Sementara dalam Buku Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran disebutkan bahwa pengukuran kinerja dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tingkat pencapaian kinerja yang telah dilaksanakan.  Sedangkan evaluasi kinerja merupakan salah satu alat analisa untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian sasaran sebagaimana tercantum dalam dokumen perencanaan dan penganggaran.

4.3.    Manajemen Kinerja Berbasis Balanced Scorecard (BSC)

Berdasarkan KMK Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan, pelaksanaan manajemen kinerja di Kementerian Keuangan mulai tahun 2010 secara resmi menggunakan BSC.  BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi dan strategi yang tertuang dalam Renstra-KL dan Road-map Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke dalam suatu peta strategi. Renstra Kemenkeu yang merupakan dokumen perencanaan jangka menengah (5 tahun) lingkup Kemenkeu selanjutnya dijabarkan secara lebih rinci dalam road-map Kemenkeu yang berisi program dan kegiatan secara umum dalam jangka waktu 5 tahun. BSC juga dapat digunakan sebagai alat yang menghasilkan umpan balik untuk mereviu dan merevisi Renstra-KL.

Karena mengacu pada Renstra dan Roadmap yang memiliki jangka waktu 5 tahun, maka BSC yang dibangun di Kemenkeu juga berlaku untuk jangka waktu 5 tahun. Namun, setiap akhir tahun dilakukan reviu atas BSC yang dibangun sehingga dimungkinkan terjadi perubahan strategi sesuai dengan kondisi internal dan eksternal Kemenkeu.

Secara umum tahap-tahap penerapan BSC meliputi:

1)      penetapan perspektif;

2)      penyusunan sasaran strategis;

3)      penyusunan peta strategi; dan

4)      penetapan indikator kinerja utama (IKU).

Selanjutnya sesuai dengan KMK Nomor 12 Tahun 2010, hasil dari tahap-tahap tersebut dituangkan dalam sebuah dokumen Kontrak Kinerja yang ditandatangani oleh pimpinan unit organisasi dan atasan langsungnya.  Batas waktu penyusunan dan penetapan Kontrak Kinerja paling lambat pada bulan Januari tahun berjalan.  Kontrak Kinerja ini adalah dokumen yang berlaku untuk lingkup intern Kementerian Keuangan.  Sedangkan untuk lingkup nasional, setiap KL juga harus menyusun Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan Penetapan Kinerja (PK), yang mulai tahun 2011 informasi yang disajikan pada dasarnya sama dengan Kontrak Kinerja.

Kontrak Kinerja ini menyajikan peta strategi, sasaran strategis, dan IKU beserta targetnya, baik untuk periode 1 tahun maupun triwulanan.  Selanjutnya selama tahun berjalan, dilakukan evaluasi dan monitoring secara terus menerus terhadap pencapaian target IKU yang telah ditetapkan.  Hasil evaluasi dan monitoring dilakukan setiap triwulan dan pada akhir tahun yang dituangkan dalam sebuah Laporan Capaian Kinerja.  Pada akhir tahun laporan ini akan menjadi bahan masukan dalam penyusunan LAKIP.  Artinya pengukuran kinerja dan pencapaian target-target yang dilaporkan dalam LAKIP adalah berdasarkan RKT-PK (yang identik dengan Kontrak Kinerja) dan Laporan Capaian Kinerja.

  1. 5.       KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang disampaikan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan adanya beberapa permasalahan terkait sistem perencanaan dan penganggaran di lingkup KL khususnya Kementerian Keuangan.  Permasalahan yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:

a)      Adanya perbedaan rumusan indikator kinerja antara dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) dengan dokumen manajemen kinerja (KK dan RKT-PK) dan dokumen pelaporan (Laporan Capaian Kinerja dan LAKIP)

Dari hasil pembandingan dokumen perencanaan dan penganggaran tahun 2011 (Renja-KL dan RKA-KL) dengan dokumen manajemen kinerja (Kontrak Kinerja) tahun 2010 dan 2011, ternyata terdapat beberapa perbedaan tentang penetapan indikator kinerja (IKU).  Perbedaan tersebut meliputi perbedaan rumusan, perbedaan target, serta beberapa IKU yang ada di dokumen perencanaan dan penganggaran tetapi tidak ada di Kontrak Kinerja.  Hal ini terjadi karena penetapan IKU dan IKK dalam Renja dan RKA-KL 2011 mengacu pada Kontrak Kinerja tahun 2010.  Sementara dalam Kontrak Kinerja tahun 2011 terdapat beberapa rumusan dan target IKU yang mengalami perubahan.

b)      Batas waktu penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berbeda dengan dokumen manajemen kinerja

Dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) harus disusun sebelum tahun anggaran dimulai.  Bahkan proses penyusunannya sudah dimulai sejak bulan Februari/Maret tahun sebelumnya.  Dalam proses penyusunan tersebut juga sudah harus menetapkan IKU, baik di level program maupun kegiatan.  Sedangkan untuk dokumen manajemen kinerja (Kontrak Kinerja) baru disusun paling lambat Bulan Januari tahun berjalan.

c)       Permasalahan terkait pelaporan

Dalam praktiknya selama ini, pelaporan atas pencapaian target IKU hanya dilakukan terhadap dokumen manajemen kinerja, dalam hal ini Kontrak Kinerja.  Laporan tersebut berupa Laporan Capaian Kinerja yang disusun secara periodik setiap triwulan.  Selanjutnya informasi capaian kinerja tersebut juga akan menjadi dasar dalam penyusunan LAKIP.  Sedangkan terhadap IKU yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) belum ada mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban yang dilakukan.  Sebenarnya pelaporan atas pencapaian kinerja dalam Renja-KL dan RKA-KL bisa menggunakan data yang disajikan dalam Laporan Capaian Kinerja karena informasi yang disampaikan adalah sama.  Hanya perlu ditambahkan komponen realisasi anggaran untuk mengetahui efisiensi dan efektivitas pelaksanaannya.  Kesulitan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara IKU dalam Kontrak Kinerja dengan IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL.

  1. 6.       REKOMENDASI

Terhadap permasalahan-permasalahan yang telah diidentifikasi, dikemukakan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi bahan perbaikan.  Rekomendasi yang disarankan adalah sebagai berikut:

a)      Adanya pengintegrasian antara sistem perencanaan dan penganggaran dengan sistem manajemen kinerja serta koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat

Sebagaimana telah disebutkan bahwa salah satu ciri khas dan manfaat pendekatan penganggaran berbasis kinerja adalah adanya keterkaitan secara langsung antara pendanaan dengan kinerja yang akan dicapai.  Karena pendekatan penganggaran berbasis kinerja saat ini sudah mulai diterapkan secara penuh, maka seharusnya sistem perencanaan dan penganggaran terintegrasi dengan sistem manajemen kinerja.  Adanya pengintegrasian antara kedua sistem ini diharapkan dapat mendukung keterkaitan antara pendanaan dengan kinerja.  Pengintegrasian ini juga akan membantu dalam proses pelaporan dan evaluasinya.

b)      Adanya mekanisme revisi indikator kinerja(IKU)  dalam Renja-KL dan RKA-KL

Adanya perbedaan rumusan dan target IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL dengan Kontrak Kinerja menyebabkan kurangnya keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja.  Selama ini tidak ada mekanisme revisi IKU dalam Renja-KL maupun RKA-KL setelah tahun anggaran berjalan.  Tetapi ketentuan mengenai revisi IKU juga belum diatur dalam peraturan terkait.  Tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas apakah boleh dilakukan revisi IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL pada tahun berjalan untuk menyesuaikan dengan IKU dalam Kontrak Kinerja.  Untuk lebih menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara pendanaan dengan kinerja yang akan dicapai, maka dinilai perlu adanya mekanisme revisi IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL.

c)       Perubahan batas waktu penyusunan dokumen manajemen kinerja

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dokumen manajemen kinerja berupa Kontrak Kinerja disusun paling lambat bulan Januari tahun berjalan.  Sedangkan dokumen perencanaan dan penganggaran (Renja-KL dan RKA-KL) disusun sebelum tahun berjalan.  Perbedaan batas waktu penyusunan ini menyebabkan penetapan IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL mengacu pada dokumen Kontrak Kinerja tahun sebelumnya.  Padahal selama ini rumusan ran target IKU setiap tahun mengalami perubahan, baik penambahan, pengurangan, maupun perubahan lainnya.  Perubahan-perubahan ini selain untuk menyesuaikan dengan kondisi aktual juga lebih disebabkan karena unit organisasi belum dapat merumuskan IKU yang benar-benar dapat menjadi tolok ukur pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.

Oleh karena itu, waktu penyusunan dokumen-dokumen ini perlu disesuaikan, dalam hal ini penyusunan Kontrak Kinerja dilaksanakan sebelum tahun berjalan.  Dengan penyesuaian ini diharapkan penetapan IKU dalam Renja-KL dan RKA-KL tidak mengalami kesulitan serta tidak ada lagi perbedaan IKU.

 
12 Comments

Posted by on March 15, 2012 in Lain-lain, Serius nan Ngilmiah