RSS

Memulai B2W lagi

Dalam ingatan saya, terakhir kali saya bersepeda ke tempat kerja (bike to work – b2w) adalah di tahun 2012. Saat itu saya masih tinggal di wilayah Cipulir, Jakarta Selatan. Jarak rumah – kantor hanya sekitar 15 km. Setidaknya hampir seminggu sekali saya b2w.

Tahun 2012 akhir saya pindah ke Depok. Jarak rumah – kantor menjadi dua kali lipat, 30 km lebih. Tahun 2013 saya berkesempatan melanjutkan studi di sebuah universitas yang letaknya tak jauh dari rumah. Aktivitas b2w pun terpaksa saya hentikan dulu sampai batas waktu yang tak tentu.  Sepeda pun lebih banyak terparkir di garasi. Hanya sesekali gowes santai di akhir pekan bersama istri. Tahun 2015 akhir saya kembali ke kantor. “Nyaman” nya KRL Commuterline membuat saya semakin berat untuk kembali mengayuh sepeda.

Hingga akhirnya hari ini, sebuah lompatan besar dalam hidup saya lalui (halah… lebay… ). Setelah hampir 5 tahun, saya berkesempatan merasakan kembali sensasi bersepeda di pagi hari. Menuju tempat kerja di tengah semrawutnya lalu lintas jalanan ibu kota. Bergumul dengan asap buangan pembakaran mesin yang menyesakkan paru-paru. Ketiadaan jalur khusus sepeda memaksa sepedaku harus bersanding dengan motor dan mobil yang semua tampak terburu-buru seolah ingin jadi nomor satu.

Tapi, sensasi itu masih sama, tiada dua dan tak pernah terganti. Di sini saya tidak lebay. Ini asli tulus dari hati. Sensasi inilah yang saya yakin menjadi motivator utama bagi para pegiat sepeda, khusunya genre b2w, untuk terus mengayuh sepeda mereka. Sensasi sejuknya terpaan angin saat sepeda melaju. Sensasi nafas yang terengah dan detak jantung yang memburu saat tanjakan tak terelakkan. Sensasi kekeluargaan saat bertemu sesama pesepeda, yang tiba-tiba langsung akrab meski belum pernah bersua sebelumnya. Sensasi saat tiba di tempat kerja lalu orang-orang menatap dengan pandangan bertanya-tanya, heran, kagum, atau tak peduli sekalipun. Dan masih banyak sensasi lainnya yang hanya bisa dirasakan tanpa bisa diceritakan.

Kebetulan hari ini saya sedang mendapatkan tugas ke kantor lain di bilangan Otista Raya, Jakarta Timur. Setelah saya cek di peta ternyata jaraknya 23 km dari rumah. Jarak yang tak terlalu jauh sebenarnya. Tapi bagi saya yang sudah cukup lama tak bersepeda jarak jauh, jarak ini menjadi cukup ideal dan masuk akal untuk memulai kembali aktivitas b2w. Persiapan pun sudah saya lakukan sejak semalam. Pengecekan sepeda, packing baju ganti dan peralatan mandi, hingga pemilihan kostum yang tepat harus dilakukan dengan cermat. Karena hari ini akan menjadi hari yang bersejarah.

Pagi ini cuaca pun cukup cerah. Meski dini hari tadi gerimis sempat turun membasahi bumi, selepas subuh langit kembali cerah. Hasil pengecekan website prakiraan cuaca pun menunjukkan hasil yang sama. Akhirnya keputusan saya pun bulat. Mari kita berangkat…

Sepeda yang saya gunakan dalam peristiwa bersejarah kali ini adalah sepeda yang tak kalah bersejarah. Alasan pertama adalah karena sepeda itu adalah sepeda yang dulu pernah digunakan oleh istri saya saat masih bersekolah di MTS. Alasan ini mungkin bersifat pribadi. Alasan kedua, dan ini menurut saya adalah alasan tingkat bangsa dan negara, adalah karena sepeda itu adalah Federal. Anda yang setuju dengan alasan kedua berarti mungkin usia anda minimal sudah di akhir kepala tiga.

20170304_090534-01

Menjelang jam 6 saya baru meluncur dari rumah. Agak kesiangan memang. Efek ditinggal mudik istri ternyata cukup signifikan. Rute yang saya lalui adalah Tanah Baru – Kahfi II – Pasar Minggu – Volvo – Rawajati Timur – Kalibata – Dewi Sartika – Otista. Jarak 23 km saya tempuh selama 1 jam 32 menit dengan kecepatan rata-rata “hanya” 15 kpj. Target saya sebenarnya adalah (atau setidaknya mendekati) 20 kpj. Tapi ternyata ada 3 titik kemacetan di jalur yang saya lalui, yaitu sebelum stasiun Tanjung Barat hingga menjelang kolong TB Simatupang, Pasar Minggu menjelang Volvo hingga perlintasan rel kereta api, dan pertemuan Dewi Sartika – Otista. Jam 7.30 sampailah saya di tujuan dengan selamat dan riang gembira.

Tantangan lebih berat mungkin adalah perjalanan pulang nanti. Meski rute dan jarak tempuh sama, tapi kemacetan mungkin akan lebih parah dan merata. Kondisi fisik pun tak seprima tadi pagi. Semoga Allah tetap memberikan kekuatan dan pertolonganNya. Semoga akan ada cerita perjalanan berikutnya.

 
3 Comments

Posted by on April 6, 2017 in Uncategorized

 

Back to School

Study in a university is a dream comes true for me. Indeed, I have graduated my diploma and undergraduate as well at STAN.  As the name implies, STAN is not a university at all. The study system and the overall process are totally different to that of a university in general. It’s not until now when I’m awarded a scholarship from SPIRIT programme and then I’m accepted at Universitas Indonesia in postgraduate Double Degree Program majoring in economics science.

As a postgraduate student, one should be familiar with campus’ life and all of its activities. However, for me it’s not to be the case. For instance I haven’t even know what IRS is, not to mention how to fill it in. Since in my previous school (STAN is closer to be classified as a school than a university) all I need to do was just came and sat in the class, did all the assignment, passed the exam, then I’d graduated. There was no IRS since what courses I had to take in each semester were all packed. Now in UI, the story is rather different. All students should register their accounts in an online system so called SIAKNG (Student Administration System – Next Generation) and fill in IRS before classes begin.

All application and submission process is done now. I’m so excited and enthusiastic that I’m ready to study economics. Hopefully this will be a pathway to drive me to success.

Depok, more than a semester ago.

 
Leave a comment

Posted by on February 24, 2014 in Uncategorized

 

Tags: ,

Gowes Pelan Bintaro – Cisarua

Si Domi Fully Loaded

Sejak terakhir kali (dan pertama kalinya) touring sepeda Bintaro – Bandung via Cariu bulan Juli 2009 lalu, belum pernah lagi saya touring.  Padahal keinginan untuk touring itu terus membayangi pikiran saya.  Bahkan keinginan itu telah menjelma menjadi kerinduan yang sulit ditahan.  Maka saat ada kesempatan, tak akan saya sia-siakan.

Dan kesempatan itu akhirnya datang juga.  Sarasehan Stapala tahun ini digelar di kawasan Puncak, Bogor.  Lokasi tepatnya ternyata di daerah Villa Aquarius Orange, Cisarua, dekat Curug Cilember.  Aha…! Inilah kesempatan saya.  Tapi saya belum yakin.  Apa sebab?

Sudah 2 bulan lebih kegiatan gowes saya berhenti total.  Si Domi pun teronggok berdebu di parkiran basement kantor.  Ditambah lagi seminggu yang lalu sempat terserang flu ringan.  Dengan kondisi seperti itu, sanggupkah saya melahap tanjakan Puncak?

Setelah menengok google map, ternyata lokasi villa itu tak jauh dari pintu tol Ciawi.  Jalan raya nya pun tampak masih relatif lurus.  Kalau begitu adanya, berarti tanjakannya juga belum terlalu ekstrim.  Jaraknya pun dari pintu tol Ciawi tak sampai 10 km.  Sedangkan total jaraknya dari Posko Stapala di Kampus STAN Bintaro pun hanya +/- 64 km via Parung.  Insya Allah masih terjangkau lah.  Ditambah lagi ternyata istri saya di detik-detik terakhir memutuskan untuk tidak jadi ikut acara itu.  Tak ada alasan lagi untuk membatalkan rencana touring kali ini.

Tapi rasanya tak nikmat kalau gowes sendirian.  Setidaknya untuk saat ini saya belum siap.  Tapi suatu saat nanti ingin juga gowes touring sendirian.  Maka saya lemparlah ide ini ke forum grup Stapala.  Hanya 2 orang yang konfirmasi akan bergabung,  Prabu (Kus-kus 761) dan  Adryan (Alot  872).  Tak apalah, karena saya memang tak berharap banyak.  1 atau 2 orang teman juga sudah cukup.  Yang penting saya tak sendirian.

Karena acara akan dilaksanakan mulai Sabtu siang hingga malam, maka kami sepakat untuk berangkat jam 6 pagi.  Dan sebagai titik start disepakati adalah Posko Stapala di kampus STAN Bintaro.  Itu berarti saya harus gowes dari kontrakan saya di Kebayoran Lama ke Posko yang jaraknya sekitar 7 km.  Tak apalah, itung-itung pemanasan.   Alot malah menginap di kos-kosan  Kus-kus, yang letaknya masih di area kampus, karena rumahnya di Tangerang.

Narsis dulu sebelum berangkat

Berangkat bertiga

Malam harinya saya sudah packing, agar besok pagi abis subuh bisa langsung siap-siap dan meluncur.  Tapi apa daya, Sabtu pagi sejak subuh hujan pun datang.  Rasanya tak nikmat kalau gowes hujan-hujanan, apalagi baru berangkat sudah langsung basah-basahan.  Akhirnya kami sepakat untuk menunda keberangkatan hingga hujan reda.

Secangkir kopi dan sepotong roti yang disuguhkan istri menjadi sarapan saya pagi itu.  Pukul 6.30 saya baru meluncur dari kontrakan menuju Posko.  Pukul 7.30 akhirnya kami bertiga mulai meluncur.  Cuaca pagi itu masih agak mendung dan berkabut.  Kalau sampai siang begini terus enak nih, asal gak hujan aja, pikir saya.  Perjalanan dimulai dengan sangat santai.  Gowes perlahan sambil menikmati udara pagi yang berkabut terasa begitu nikmatnya.  Yang paling nikmat sesungguhnya adalah sensasi bahwa kali ini saya benar-benar melakukan touring (walaupun jaraknya hanya 64 km).  Bukan hanya bike to work sambil membayangkan sedang touring, seperti yang selama ini saya lakukan.  Kegembiraan saya benar-benar membuncah.  Maka saat keluar dari Kampus kami bertemu dengan rombongan pesepeda, lalu salah satu pesepeda yang sudah sepuh menyapa saya “Kemana Om?”, saya jawab dengan lantang “Ke Puncak Om…!”. “Wah mantab…!” sahutnya.  “Emang mantab om…!”, Jawab saya, tapi hanya dalam hati.

Ngaso dulu sambil ngisi bahan bakar

Perjalanan cukup lancar walaupun jalanan sudah agak ramai.  Tapi anehnya kecepatan kami tetap segitu-gitu saja, bahkan cenderung melambat.  Padahal saya pikir sudah cukup pemanasannya.  Ternyata  Alot tampak sudah kelelahan.  Saya dan  Kus-kus otomatis menyesuaikan kecepatan.  Kami tak memakai speedometer, tapi perkiraan saya laju kami tak lebih dari 10 kpj.  Wah, padahal cuaca mendukung dan jalanan datar.  Harusnya kecepatan kami bisa 2 kali lebih cepat.  Karena kalau dengan kecepatan seperti ini terus, prediksi waktu tempuh sekitar 4-5 jam tak akan tercapai.

Beberapa kali saya menyemangati  Alot dan memintanya sedikit menambah kecepatan.  Tapi sepertinya dia benar-benar sudah kelelahan.  Diketahui kemudian ternyata  Alot belum pernah bersepeda jarak jauh.  Biasanya dia hanya bersepeda keliling kompleks nya.

Nyampe Lanud Atang Sendjaya

Inilah tantangannya.  Saya bilang ke  Kus-kus, sepertinya dalam perjalanan ini kesabaran kita yang diuji.  Bagi kami yang terpenting adalah kebersamaan.  Berangkat bersama sampai tujuan juga harus bersama.  Selain itu, sayalah yang mencetuskan ide touring ini.  Lalu saya mengajak siapapun anggota Stapala yang mau ikut.  Maka saya juga harus bertanggung jawab atas seluruh anggota tim kecil ini.  Saat ada anggota tim yang mulai melambat, opsi nya adalah menyemangati dan mendorongnya agar menambah kecepatan atau kami yang menyesuaikan dengan kecepatannya.  Kami buang jauh-jauh ego untuk terus melaju meninggalkannya di belakang.  Setidaknya itulah sedikit pelajaran yang kami peroleh di Stapala selama ini.

Beberapa kali kami istirahat untuk sekedar meneguk serta menghilangkan rasa panas di pantat dan selangkangan.  Tiap kali selesai istirahat,  Alot meminta untuk melanjutkan lebih dulu.  Dia bilang toh nanti tak terlalu jauh kami pasti akan menyusul.  Dengan begitu waktu istirahat kami jadi lebih lama.

Dengan kondisi sangat kelelahan seperti itu, saya pikir  Alot tak akan bertahan lebih lama.  Saya pikir dia akan memutuskan untuk kembali.  Tapi saya salah.  Semangatnya untuk melanjutkan perjalanan sungguh luar biasa.  Walaupun kayuhannya kadang tak stabil.  Hanya beberapa kayuhan lalu berhenti, mengayuh lagi lalu berhenti lagi, begitu terus sepanjang jalan.  Padahal dengan kayuhan seperti itu, labih menguras tenaga.  Kita tidak bisa memanfaatkan momentum perputaran roda dan laju sepeda.  Tapi rupanya dengan tetap melanjutkan kayuhan seperti itu sudah merupakan perjuangan yang sangat berat bagi  Alot.  Salut untuk semangatnya…

Tetap semangat…! sudah sampai Kota Bogor kita…

Pukul 11.30 akhirnya kami sampai di Kebun Raya Bogor.  Kami memutuskan untuk berhenti makan siang, karena bunyi keroncongan dari perut semakin keras dan tak dapat ditahan lagi.  Ayam goreng dan soto di daerah Kebun Raya jadi menu pilihan kami.  Selesai melahap makan siang, secara mengejutkan  Alot memutuskan untuk tak melanjutkan perjalanan sampai Puncak.  Dia memutuskan untuk mampir ke rumah saudaranya di Kota Bogor.  Saya dan  Kus-kus berusaha membujuknya agar tetap melanjutkan perjalanan.  Karena garis finish sudah tak terlalu jauh lagi.  tapi memang kondisinya akan berbeda.  Sebentar lagi kami harus menghadapi tanjakan, dan sayangnya mendung juga mulai menghilang, digantikan oleh teriknya matahari siang bolong yang menyengat.

Makan siang, titik finish untuk Alot

Akhirnya tinggal kami berdua yang melanjutkan perjalanan.  Selesai makan siang kami mencari masjid untuk sholat dzuhur dan memberi waktu pada pencernaan kami untuk bekerja.  Setelah sholat dzuhur di Masjid Nurul Maal, PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor, kami melanjutkan perjalanan sambil menyiapkan mental untuk mulai menghadapi tanjakan.

Tak lama kemudian kami mulai memasuki Jalan Raya Puncak.  Kondisi lalu lintas cukup lancar.  Pemberlakuan buka tutup jalur cukup menguntungkan kami.  Saat jalan hanya dibuka 1 jalur, volume kendaraan cenderung lebih sedikit.  Tapi sebenarnya itu tak banyak berpengaruh juga, karena saat itu kami mulai ngicik.  Bonus turunan tak saya sia-siakan.  Saat jalan menurun, sepeda saya geber segeber-gebernya.  Dengan harapan saat turunan berakhir dan berganti tanjakan, saya dapat memanfaatkan momentum untuk mengawali ngicik lagi.

Panas dan nanjak, duet maut yang benar-benar mantab

Selama di tanjakan ini, kami jadi lebih sering berhenti untuk istirahat.  Apalagi setelah  Kus-kus merasakan kaki kanannya hampir kram.  Banyak pesepeda yang kami temui, tapi semuanya berlawanan arah dengan kami.  Semuanya melaju turun.  Tampaknya mereka baru saja melahap jalur XC atau downhill.  Satu-satunya pesepeda yang searah dengan kami adalah seorang  yang sudah cukup berumur sedang nanjak sendirian.  Saat kami ngicik dia berhenti istirahat, sebaliknya saat kami istirahat dia tampak lewat sambil menyapa.

Tanjakan masih panjang

Waktu menunjukkan jam 3 lebih saat tampak di depan kami ada Hotel Grand Usu, yang artinya kami sudah sampai di gang masuk ke arah Villa Aquarius Orange.  Dan ternyata benar, ada petunjuk arah menuju Curug Cilember.  Masuk gang beberapa ratus meter, akhirnya kami sampai juga di lokasi.  Jam menunjukkan pukul 15.30 WIB.  Total perjalanan kami selama 8 jam menempuh +/- 64 km.  Perjalanan yang cukup lama, tapi kami menikmatinya.

Menjelang finish, jalan semakin miring, TTB pun tak terelakkan

Alhamdulillah nyampe juga, setelah 8 jam

Keesokan harinya, kami pulang menumpang bus yang membawa rombongan ke posko.  Setelah malamnya kami begadang, gowes lagi ke Bintaro sepertinya tidak memungkinkan dan memang tidak kami rencanakan.

Bersih-bersih dulu sebelum pulang

Terima kasih untuk  Kus-kus dan  Alot untuk perjalanan yang menyenangkan.

Terima kasih untuk rombongan bus Posko untuk tumpangannya.

Salut untuk  Alot atas semangat dan perjuangannya.

Lain waktu kita touring lagi, tapi harus sampai finish ya Om…

 
7 Comments

Posted by on June 19, 2012 in Perjalanan, Sepeda

 

Negeri Bilingual (bagian pertama)

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah salinan peraturan teronggok di meja kerja. Penetapan peraturan itu belum lama berselang. Sebut saja peraturan itu berjudul “Peraturan Inspektur Jenderal Nomor sekian tentang Perencanaan Pengawasan dan seterusnya…”.  Bukan isi peraturan itu yang ingin saya bahas, karena saya baru baca halaman pertama. Kalaupun saya baca sampai khatam belum tentu juga saya jadi paham. Kalau saya tidak paham lalu saya coba ceritakan pada anda, bagaimana anda bisa paham?

Ah sudahlah, kan saya bilang tidak akan membahas isinya. Yang mengusik pikiran saya adalah –bahkan di halaman pertama, di bagian “Menimbang”- penggunaan bahasa asing (baca: bahasa Inggris) dalam peraturan itu.  Setidaknya ada 2 kata yang digunakan pada bagian ini –entahlah di halaman berikut, apalagi di bagian lampiran- yaitu assurance dan consulting. Dalam ranah audit atau pengawasan, 2 kata ini memang mengacu pada istilah yang spesifik dan mempunyai definisi tertentu. Definisi itu tidak bisa semata-mata diperoleh dari terjemahan bebas kedua kata ini ke dalam Bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya tidak sama sekali bertentangan. Ketika 2 kata ini harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dengan tetap memepertahankan definisi spesifiknya dalam konteks audit, mungkin memang agak susah.

Tapi dalam sebuah peraturan, baik berupa undang-undang maupun bentuk peraturan yang lain, perbedaan makna karena penggunaan istilah-istilah bukanlah sesuatu yang tidak bisa diselesaikan. Sesuatu yang sangat lumrah dalam segala jenis peraturan adalah daftar definisi atau pengertian. Biasanya letaknya pada bab tentang Ketentuan Umum. Bunyinya kurang lebih seperti ini: “Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:” dan seterusnya. Lalu diikuti dengan istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan yang bersangkutan beserta definisinya. Walaupun menggunakan bahasa asing pun sebenarnya belum tentu bisa menggantikan fungsi daftar definisi ini.

Yang menjadi kurang sreg bagi saya adalah penggunaan bahasa asing –yang sebenarnya bisa menggunakan Bahasa Indonesia- dalam sebuah dokumen resmi yang penyusunannya seharusnya mengikuti kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan EYD dan mengacu pada KBBI (semoga anda semua masih ingat apa itu EYD dan KBBI). Saya rasa bukan sekali ini saja bahasa asing digunakan dalam dokumen-dokumen resmi semacam peraturan perundang-undangan maupun dokumen lain, yang notabene mengatur urusan dalam negeri dan berlaku di dalam negeri.

Jika dalam dokumen-dokumen resmi saja penggunaan bahasa asing sudah menjadi kelaziman, bagaimana dengan dokumen-dokumen tidak resmi maupun dalam bahasa verbal? Rupanya intensitas penggunaan bahasa asing lebih tinggi lagi pada keduanya. Sering kita jumpai penggunaan bahasa asing dalam berbagai tulisan non formal mulai dari berita, artikel, tulisan di blog, hingga update status di berbagai jejaring sosial. Begitu pula dalam berbagai bentuk komunikasi verbal mulai dari percakapan, diskusi, rapat, bahkan hingga pidato-pidato resmi. Alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia banyak orang yang lebih suka menggunakan bahasa asing untuk menyampaikan maksudnya.

Itu semua tentu bukan tanpa alasan. Rupa-rupa alasannya. Bagi sebagian orang, Bahasa Indonesia mempunyai banyak keterbatasan dalam menterjemahkan bahasa asing. Bisa jadi suatu istilah bahasa asing menimbulkan interpretasi yang berbeda dengan terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia. Bisa juga suatu istilah bahasa asing belum ada terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia. Dalam kondisi seperti ini menggunakan bahasa asing akan lebih efektif dan efisien dalam komunikasi. Contohnya, lagi-lagi di kantor saya, ada sebuah ruangan yang berlabel “R. JANITOR”. Ada yang aneh dari penamaan ruangan ini. Huruf R merupakan singkatan dari kata “Ruang”. Ini berarti penamaan ruangan ini menggunakan Bahasa Indonesia, begitu pikir saya. Lalu saya penasaran dengan kata “Janitor”. Saya cari di KBBI online versi Kemdiknas, hasilnya ternyata seperti ini: “Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!”. Lalu pencarian saya alihkan ke salah satu website kamus bahasa Inggris online, hasilnya “Janitor: pesuruh; petugas kebersihan; pembersih kantor”. Ternyata Janitor adalah kata dalam bahasa Inggris, yang entah sudah diserap secara resmi dalam Bahasa Indonesia atau belum.

(bersambung…)

 
1 Comment

Posted by on May 11, 2012 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Atas Nama Tradisi

Semalam pulang dari kantor, sambil leyeh-leyeh dan bercengkerama dengan istri tercinta saya nonton berita.  Ada 1 berita yang membuat kening saya mengernyit.  Isi berita itu tentang aksi pembubaran paksa sebuah majelis tabligh berinisial MTA oleh penduduk sekitar yang sebagian besar –atau seluruhnya- adalah warga NU.  Kejadiannya di daerah Jogja, saya lupa tepatnya.  Salah satu alasannya karena MTA dituding melarang jamaahnya melakukan ritual “Tahlilan”.  Padahal menurut warga Tahlilan sudah menjadi tradisi warga secara turun-temurun.

Rasa penasaran saya pun membuncah.  Ada 2 hal yang memicunya.

Pertama.  Siapakah MTA ini?  Kenapa kehadirannya dianggap meresahkan hingga akhirnya warga membubarkan secara paksa pengajiannya.  Adakah MTA ini aliran semacam Ahmadiyah jenis baru?  Tapi kok saya baru mendengarnya sekarang.

Setelah browsing sana sini terungkaplah bahwa MTA adalah singkatan dari Majelis Tafsir Alquran.  Dari namanya ini saya pikir tidak ada yang salah.  Bahkan namanya luar biasa menurut saya.  Pencarian saya langsung diarahkan pada situs resmi jamaah ini.  Dari profil dalam situs resminya disebutkan bahwa MTA adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan dakwah Islamiyah.  Yayasan ini didirikan sejak tahun 1972 (sudah tua juga ternyata).  Tujuan utamanya mengajak umat Islam kembali kepada ajaran Alquran.  Kegiatan utamanya berupa pengajian, baik pengajian khusus maupun umum, serta pendidikan baik formal maupun non formal.  Di samping itu mereka juga bergerak di bidang social, ekonomi, dan kesehatan.  Informasi lebih lengkapnya bisa dibaca disini.

Setelah membaca sekilas profilnya, saya masih tidak menemukan sesuatu yang ganjil.  Maka saya lanjutkan membaca salah satu tausiahnya yang berjudul “Terjebak Kebiasaan”.  Judul itu saya pilih karena letaknya paling atas dan saya pikir isinya cukup menarik dan cukup bisa memberikan gambaran tentang MTA itu sendiri.  Inti dari tausiah itu kurang lebih adalah mengajak manusia agar tidak terjebak melakukan kebiasaan-kebiasaan jelek, walaupun hal itu dianggap baik dan sudah umum dilakukan oleh kebanyakan orang secara turun temurun dan menjadi tradisi.  Sebagai manusia beriman setiap muslim haruslah mengembalikan segala sesuatu pada ajaran agama. Alquran dan Assunah.

Salah satu dalilnya adalah Surat Al-Kahfi ayat 103-104, yang artinya:

Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”

Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Sampai di sini saya masih belum juga menemukan sesuatu yang janggal hingga membuat jamaah ini layak dibubarkan paksa.  Oleh karena itu saya membuat kesimpulan sementara bahwa tidak ada yang salah pada MTA.  Dugaan awal bahwa MTA adalah aliran semacam Ahmadiyah dan sebangsanya saya buang jauh-jauh.

Kedua.  Alasan utama warga membubarkan jamaah itu adalah karena dianggap meresahkan.  Salah satu poin yang diungkapkan dalam berita itu adalah karena MTA melarang melakukan tahlilan, yang bagi warga sekitar sudah menjadi tradisi sejak jaman walisongo.

Hasil pencarian saya di dunia maya menunjukkan bahwa kasus pembubaran paksa jamaah MTA oleh warga bukan pertama kali terjadi.  Setidaknya saya menemukan ada 3 tempat yang pernah mengalami kejadian serupa, yaitu di Purworejo, Kudus, dan Ponorogo.  Dan ternyata alasannya tak jauh berbeda, yaitu sekitar masalah tahlilan dan ritual-ritual lainnya yang sudah menjadi tradisi.

Saya berhenti, berpikir sejenak.  Pencarian saya sepertinya mulai menemukan titik terang.  Tapi kemudian saya buru-buru menghapus lagi titik terang itu.  Semoga bukan itu jawaban atas pencarian saya.  Kenapa begitu? Karena yang saya maksud titik terang itu adalah saya teringat ayat Alquran tentang jawaban orang-orang kafir terhadap perintah untuk mengikuti ajaran Islam.  Mereka menolak ajaran yang datang dari Allah dan mengatakan bahwa mereka hanyalah mengikuti apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.  Setelah mencari kesana kemari akhirnya saya menemukan ayatnya, yaitu Surat Al-Baqarah ayat 170, yang artinya:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?

Selain ayat tersebut, ternyata banyak ayat-ayat lain maupun hadits yang isinya hampir sama.  Yang intinya bahwa segala kebenaran hanya datang dari Allah dan disampaikan melalui rasulnya.  Bahwa kita dilarang mendasarkan amal perbuatan kita pada adat kebiasaan dan tradisi nenek moyang atau orang kebanyakan.  Bahkan tindakan dan amalan tokoh sekelas wali (atau sunan atau apapun namanya) tidak bisa dijadikan dasar (taklid) untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu.  Segala perbuatan harus dikembalikan pada ajaran Islam yang suci, yang bersumber dari Alquran dan Hadits.

Kenapa tadi saya katakan menghapus lagi titik terang yang mulai saya temukan? Karena saya berharap dan berdoa semoga tindakan pembubaran paksa yang dilandasi kebencian karena dilarang melakukan apa yang biasa mereka lakukan, yang juga dilakukan nenek moyang mereka, tidaklah termasuk dalam golongan yang diceritakan dalam Al-Baqarah 170 tersebut.  Saya berdoa semoga kejadian ini hanyalah akibat kesalahpahaman atau ulah provokator yang memanfaatkan kondisi keilmuan sebagian umat yang belum mendalam tentang ajaran Islam.

Kejadian ini sebenarnya juga saya alami di lingkungan sekitar, kampung dan kota, bahkan keluarga.  Betapa ritual-ritual tertentu  yang dianggap sebagai ibadah oleh sabagian saudara-saudara kita sudah begitu mendarah daging, menjadi budaya yang pantang untuk ditinggalkan.  Tak perlu saya sebutkan ritual apa yang saya maksud itu, karena sudah saya sebutkan di awal tadi.  Dan saya tak mau persoalan jadi semakin runyam.  Karena bukan tentang detail ritual-ritual itu yang menjadi penekanan saya.

Jawaban orang-orang kafir dalam Al-Baqarah 170 itulah yang menjadi fokus saya.  Maka marilah kita bermuhasabah, mengintrospeksi diri kita masing-masing.  Apakah setiap tindak dan laku kita khususnya menyangkut ubudiyah, walaupun tak meninggalkan urusan mauamalah, telah sesuai ajaran yang diturunkan Allah dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW?  Apakah amalan-amalan itu mempunyai dasar dalil yang kuat?  Ataukah kita selama ini mengamalkannya hanya karena orang tua kita, warga kampung kita, kiyai kita, para pendahulu kita, hingga –katanya- para wali juga mengamalkannya, tanpa dalil yang jelas dan kuat?

Lalu saat ada saudara kita yang mengajak dan menunjukkan kita pada ajaran yang suci, yang merujuk pada Alquran dan hadits, yang tentunya tak terbantahkan kebenarannya, bagaimana sikap dan apa jawaban kita? Apakah kita lebih memilih adat dan kebiasaan daripada kebenaran?  Adat, tradisi dan kebiasaan bukanlah terlarang untuk dijaga dan dilestarikan.  Tentu dengan catatan tak ada ajaran dan aturan yang dilanggar.  Tetapi ketika adat, tradisi, dan kebiasaan itu jelas-jelas melanggar, meninggalkannya adalah sebuah keharusan.  Bahkan ketika itu semua masih menjadi perdebatan, antara benar salahnya, boleh tidaknya, halal haramnya, maka meninggalkannya adalah pilihan yang lebih bijaksana.

Ya Allah… berikanlah petunjukmu dan bimbinglah aku agar selalu berada di jalanmu…

 
3 Comments

Posted by on April 3, 2012 in I'm Moslem, Uneg-uneg

 

Menyingkap Keindahan yang Terabaikan dengan Fotografi Makro

Fotografi adalah seni.  Seni adalah tentang keindahan.  Itulah salah satu alasan saya menyukai fotografi.  Dengan fotografi saya tak hanya menikmati sendiri keindahan itu, tetapi juga berbagi dengan orang lain.  Keindahan yang belum pernah anda lihat sendiri.  Keindahan yang pernah anda lihat tanpa sempat mengabadikannya.  Keindahan yang sering anda lihat tanpa menyadarinya.  Atau bahkan keindahan –yang tanpa fotografi- anda anggap itu menjijikkan.

Salah satu cabang fotografi yang sangat menarik bagi saya adalah fotografi makro (atau mikro).  Apa itu fotografi makro bisa anda lihat disini.  Saya sendiri juga tak terlalu paham definisi teknis nya.  Ah tapi mungkin itu tak terlalu relevan.  Saya hanya berusaha mengaplikasikannya untuk memotret keindahan-keindahan yang tersembunyi dan terabaikan, karena ukurannya yang mungkin terlalu kecil.

Objek favorit saya adalah binatang-binatang kecil seperti serangga, laba-laba, dan binatang lainnya.  Apapun binatang kecil yang saya temui saat “berburu” tak jadi soal.  Yang jelas mereka harus benar-benar alami.  Tak ada proses pengarahan gaya apalagi pembunuhan, hanya untuk mendapatkan pose yang saya inginkan.  Semua binatang yang saya potret dalam keadaan hidup, sedang melakukan aktivitas alaminya, dan di habitat aslinya.  Tak ada proses rekayasa apapun.  Saya tidak mengatakan bahwa membunuh binatang sebelum memotretnya adalah sebuah kesalahan.  Semua itu tergantung tujuan masing-masing.

Bagi sebagian orang, alih-alih menakjubkan binatang-binatang ini mungkin lebih dianggap menjijikkan.  Tapi bagi saya organisme yang terdiri dari struktur yang unik, dibalur permainan komposisi warna yang mencolok, dan mempunyai tingkah laku yang yang tak biasa ini adalah sebuah keindahan yang luar biasa.  Jika anda bisa menikmatinya, rasa jijik bisa berubah menjadi takjub.

Salah satu teknik yang saya pelajari dalam memotret binatang-binatang kecil khususnya serangga adalah fokus pada bagian mata.  Ini karena bagian mata biasanya mempunyai bentuk dan warna yang menarik.  Selain itu, binatang yang sedang melakukan aktivitas tertentu merupakan objek yang lebih menarik dibandingkan binatang yang sedang tidak melakukan aktivitas apa-apa.  Aktivitas seperti berburu, berpose unik, atau bahkan sedang bereproduksi merupakan momen yang sangat menarik untuk diabadikan.  Untuk mendapatkan momen-momen seperti itu tentu membutuhkan kesabaran, kecepatan, kejelian, dan sedikit keberuntungan.

 

 

 

 

 

 

Ada banyak metode dan peralatan yang bisa digunakan untuk mengaplikasikan fotografi makro.  Dari yang rumit hingga yang sederhana.  Dari yang mahal hingga yang murah meriah.  Untuk saat ini fotografi makro dipermudah oleh kemajuan teknologi digital.  Sebagian besar kamera poket digital sudah dilengkapi fitur makro, walaupun kualitas gambar dan perbesaran yang dihasilkan masih terbatas.

 

 

Senjata andalan saya

Saya sendiri selama ini hanya menggunakan peralatan “seadanya”.  Seadanya karena saya hanya menggunakan kamera D40 kesayangan saya, sebuah lensa fixed 50mm seri E yang umurnya mungkin lebih tua daripada saya, dan sebuah reversing ring untuk membalik lensa.  Dengan peralatan seperti itu, semua settingan kamera menjadi manual, mulai dari light meter hingga focusing. 

 

 

 

Anda tertarik? Selamat mencoba…

 
2 Comments

Posted by on April 2, 2012 in Fotografi, Lain-lain

 

Movie Review “The Raid”

Beberapa bulan lalu saat tahu ada film baru Iko Uwais, tak sabar hati ini ingin segera menikmatinya. Begitu tahu film itu menggondol beberapa penghargaan di berbagai festival, rasa penasaran semakin tak tertahan. Apalagi konon kabarnya film itu adalah film Indonesia pertama yang diputar serentak di seluruh dunia.

Malam minggu ini, yang ditunggu-tunggu datang juga. Bersama istri tercinta dan seorang sahabat setia, di Gandaria tempatnya.

Langsug saja reviu nya.

Film yang cukup berani menurut saya. Berani mengambil setting hanya di satu lokasi dan satu waktu sepanjang cerita, bahkan tanpa permainan alur maju maupun mundur. Setahu saya tak banyak film macam ini, dan seingat saya semuanya luar biasa. Sebut saja “Phone Booth” nya Colin Farrel yang hampir sepanjang film hanya menampilkan adegan di dalam sebuah kotak telepon umum.

Sebagai film action yang didominasi adegan perkelahian, tangan kosong maupun bersenjata, film ini sempurna. Memang agak terlalu banyak sadisme dan darah. Tapi apa lagi yang anda harapkan dari sebuah perang? Makanya sebelum film mulai saya berpesan pada istri, “Siap-siap ya, agak sadis filmnya…”

Secara umum Film ini cukup memenuhi ekspektasi saya. Selain wajah pribumi para aktor dan tulisan “Merantau Films”, mungkin anda tak akan mengira ini bukan film Hollywood.

Tapi tentu secara keseluruhan film ini tak sempurna. Beberapa hal ini sebabnya:

1. Kurangnya detail cerita yang bersifat teknis.

Misalnya apa nama kesatuan pasukan ini, bagaimana strategi penyerbuan ini, tak adanya orientasi medan, tak adanya komando dari luar gedung, mobil pengangkut pasukan yang parkir begitu saja di tempat terbuka, dan hal-hal sejenisnya.

2. Penggunaan nama “Mad Dog” yang menurut saya kurang pantas dan tak perlu.

Dengan wajah yang 100% pribumi dan kemampuan beladiri didominasi jurus-jurus silat, nickname dengan bahasa lokal lebih tepat dan terkesan lebih menakutkan menurut saya.

3. Wajah Rama yang terlalu bersih dan fisik yang begitu bugar di akhir cerita.

Setelah begitu banyak perkelahian, saya rasa hanya Chuck Norris dan Steven Seagal yang akan tetap klimis dan rapi di akhir cerita. Apalagi luka sayat di pipinya yang sebelumnya tampak bengkak, secara aneh tiba-tiba hilang tak berbekas.

4. Paket aktor utama yang itu-itu lagi.

Ketika seorang aktor identik dengan satu genre film tertentu, itu sah-sah saja. Memang kebanyakan aktor dikenal seperti itu. Ada aktor watak, aktor laga, aktor komedi, dan lain sebagainya. Tapi ketika beberapa aktor selalu bermain dalam satu film dengan genre yang sama dan peran yang juga itu-itu saja, bagi saya ini bukan hal yang baik. Dalam film ini setidaknya ada 3 aktor utama yang juga bermain dalam film Merantau, dengan peran yang persis dan hampir sama. Ketiga aktor itu adalah Iko Uwais sendiri dan Donny Alamsyah, yang sama-sama berperan sebagai kakak-adik, serta Yayan Ruhian yang sama-sama berperan sebagai jagoan tokoh antagonis. Saya berharap semoga film-film berikutnya bisa menghadirkan variasi aktor yang lebih kreatif. Atau kalaupun aktornya sama, perannya bisa lebih diexplore lagi. Jangan sampai era Barry Prima dan Advent Bangun terulang lagi.

Bagaimanapun juga, kekurangan itu tak seberapa jika dibanding prestasinya. Prestasi terbesar menurut saya bukanlah penghargaan dari berbagai festival, tetapi menyelamatkan wajah perfilman Indonesia, yang selama ini saya kira hanya ada Cinta (yang tidak menyentuh), Humor (yang sama sekali tidak lucu), dan Horor (yang selalu “kreatif” menghadirkan jenis-jenis dedemit baru).

Selamat Menonton…

 
Leave a comment

Posted by on April 1, 2012 in Resensi Buku & Film

 

Di Manakah Si Budi dan Keluarganya?

Hari Minggu ­­kemarin, saya mengunjungi pameran buku bertajuk Islamic Book Fair 2012 di Istora Senayan.  Hari itu adalah hari terakhir pameran maka wajar saja kalau pengujungnya membludak.  Di beberapa lokasi bahkan pengunjung harus berdesak-desakan dalam kemacetan layaknya Jalan Sudirman saat jam pulang kantor.   Untuk berjalan sejauh 10 meter saja membutuhkan waktu hingga beberapa menit.

Saya memang suka membeli buku, baik untuk dibaca maupun sekedar memenuhi rak buku yang memang sudah penuh.  Tapi kali ini tujuannya bukan untuk menambah koleksi buku saya.  Tawaran menyumbang buku untuk TK Islam baru di kampung lah yang menjadi motivasi saya.  Itupun karena istri saya yang bersikeras mengajak kesana, mumpung ada pameran kan pasti banyak diskon.  Padahal saat itu dia sedang kurang sehat.  Tapi itulah istri saya, motivasi berbuat untuk orang lain terkadang mengabaikan dirinya sendiri.  Mungkin itu juga salah satu yang membuat saya kagum kepadanya.

Karena mencari buku untuk TK maka fokus pencarian saya di bagian buku anak, dan tentunya yang menawarkan diskon besar-besaran.  Asyik mencari, tiba-tiba mata saya terusik oleh sebuah judul buku yang cukup kotroversial menurut saya.  “Persiapan Memasuki SD. Dilengkapi dengan soal-soal latihan.

Sekilas mungkin tidak ada yang aneh dengan judul buku itu.  Saat membaca judul utamanya “Persiapan Memasuki SD” saya coba menebak isinya.  Saya pikir isinya kurang lebih adalah panduan bagi orang tua untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi anaknya yang akan masuk SD.  Entah seperti apa persiapan yang dimaksud tapi yang jelas buku itu adalah untuk orang tua, sama sekali bukan untuk anak yang akan masuk SD.  Tapi judul tambahannya “Dilengkapi soal-soal latihan” itu yang agak menggelitik benak saya.  Satu pertanyaan besar muncul: Memangnya masuk SD ada tes nya ya?

Sebenarnya saya tidak terlalu kaget juga.  Beberapa teman pernah bercerita bahwa sekarang ini untuk masuk SD setiap anak minimal harus sudah bisa membaca.  HAAA….!!! APA….!!! Itulah reaksi saya pertama kali mendengar kabar itu, walaupun hanya dalam hati sih.

Entah kenapa bisa begitu.  Mungkin anak-anak jaman sekarang dilahirkan jauh lebih cerdas sehingga sebelum masuk sekolah formal pun sudah bisa membaca.  Atau kemajuan teknologi yang begitu pesat menuntut anak-anak harus bisa membaca lebih awal agar minimal bisa mengikutinya.  Atau bangsa ini sudah merasa begitu terpuruk sehingga untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain, anak-anak harus sudah mulai membaca bahkan sebelum masuk SD.  Ah, entahlah.  Mungkin hanya Tuhan dan sang supir yang tahu, kemana bajaj hendak belok.

Jaman dulu, kalau ada anak yang sudah bisa membaca saat masuk SD maka semua orang akan kagum dan memujinya sebagai anak hebat, pintar, cerdas, dan segala macam pujian lainnya.  Walaupun kemudian saya justru kasihan dengan anak-anak semacam itu.  Karena begitu masuk SD, kelas 1, pelajaran utamanya ya hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung.  Lha kalau anak sudah bisa membaca mau belajar apa lagi dia di kelas? Kasihan bukan? Bisa-bisa dia merasa bosan dan akhirnya tak mau lagi sekolah.

Kembali ke jaman sekarang, kemampuan membaca sebelum sekolah bukan hanya dianggap sesuatu yang lumrah, tapi justru menjadi syarat untuk masuk sekolah.  Mungkin memang tak semua SD yang mensyaratkan kemampuan membaca ini.  Pertanyaan saya masih sama, kalau masuk SD anak sudah mahir membaca, lalu di kelas 1 SD mereka mau belajar apa? Yang jelas sudah tak ada lagi pelajaran membaca yang diawali dengan pengenalan huruf.  Dilanjutkan dengan belajar mengeja, lalu membaca potongan kata yang akhirnya membentuk kalimat sederhana.

Bagian inilah bagian favorit saya.  Saat sudah mulai bisa membaca potongan kalimat, dikenalkanlah saya pada seorang tokoh legendaris sekaligus misterius.  Legendaris karena hampir semua buku untuk tingkatan itu selalu menyebut-nyebut namanya, dan saya yakin hampir seluruh anak di negeri ini pada masa itu kenal dengannya.  Misterius karena sampai saat ini saya tidak pernah tahu dari mana asal usulnya dan siapa sebenarnya tokoh ini.  Tak hanya sendirian, dia juga selalu membawa serta keluarganya.

Mungkin anda sudah bisa menebak, tokoh itu adalah si Budi dan keluarganya.  Mungkin anda mengernyitkan dahi sesaat…  Tapi sesaat kemudian anda pasti mengatakan: “Ohhh…”

Ya betul sekali, itulah maksud saya.  Pelajaran membaca pertama saya di SD –dan mungkin seluruh SD di Indonesia pada era itu- adalah kalimat “Ini Budi… Ini Ibu Budi… Ini Bapak Budi… Ini Adik Budi…”

Maka jika sekarang untuk masuk SD setiap anak harus sudah pandai membaca, maka tentu tak ada lagi pelajaran membaca seperti apa yang saya pelajari dulu itu.  Kalau sudah begitu, lalu bagaimana nasib si Budi dan Keluarganya yang legendaris tetapi misterius itu? Di manakah mereka sekarang berada?

 

 
Leave a comment

Posted by on March 19, 2012 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Turunkan BBM…! Naikkan Rok Mini…!

Setiap kali ada paraturan baru yang akan dibuat, selalu ada protes dan penolakan.  Mungkin memang itulah tabiat sistem demokrasi.  Setidaknya itulah kesimpulan saya setelah mengamati sistem demokrasi bertabur kebebasan di Indonesia pada era reformasi ini.  Entah apa landasan teorinya, jangan tanyakan pada saya.  Bisa jadi teori itu tidak pernah dikemukakan oleh profesor manapun.

Akhir-akhir ini setidaknya ada 2 topik yang cukup menarik dan mengusik nalar saya.  Yang pertama adalah soal rencana kenaikan harga BBM.  Dari perkembangan terbaru, bisa jadi ini bukan lagi sekedar rencana tetapi sudah menjadi keputusan.  Tinggal menunggu tanggal mainnya saja.

Dengan besaran kenakan sebesar Rp1.500,- tentu saja protes, demo, kecaman, keributan, dan segala macam bentuk penolakan terjadi dimana-mana.  Jangankan sebesar itu, kenaikan 500 perak pun saya yakin tak akan kalah hiruk-pikuknya.  Walaupun pemerintah sudah menjanjikan kompensasi berupa santunan –atau apapun lah namanya- uang tunai kepada rakyat yang memang membutuhkan, tetapi hal ini tidak cukup menjadi penghibur.  Di mana-mana mahasiswa berdemo.  Motivasinya mungkin macam-macam.  Ada yang benar-benar karena idealismenya, karena jiwa pejuangnya, karena rasa solidaritasnya, atau sekedar takut dicap sebagai banci dan mendapat kiriman (maaf) pakaian dalam jika tidak ikut turun ke jalan.  Atau bahkan hanya motivasi pribadi karena takut uang sakunya tak cukup lagi untuk ongkos jika harga BBM naik.

Tak hanya mahasiswa yang bersuara, penolakan dari partai oposisi pun tak kalah hebatnya.  Kalau yang satu ini setahu saya apapun peraturannya pasti ditolak.  Untuk saat ini yang paling bersemangat menolak, siapa lagi kalau bukan partai yang ketuanya juga pernah jadi orang nomor satu di negeri ini.  Tidak peduli apapun rencana peraturan yang akan ditetapkan pemerintah, mereka ini selalu menolak dan tidak setuju.  Seolah-olah dulu saat mereka berkuasa telah melakukan sesuatu yang lebih baik.

Kembali lagi ke soal kenaikan BBM, saya tidak mau berpendapat setuju atau menolak.  Selain karena pendapat saya tidak ada pengaruhnya, saya juga mengalami dilema.  Di satu sisi kenaikan harga BBM bersubsidi tidak terlalu berdampak langsung pada saya.  Karena toh selama ini saya lebih banyak menggunakan BBM non subsidi untuk menghidupi motor saya.  Apakah karena motor saya masih baru sehingga begitu dimanjakan dengan BBM non subsidi?  Sama sekali bukan, karena anda mungkin kaget ketika tahu bahwa motor yang sedang saya bicarakan adalah sebuah Honda Astrea Supra keluaran tahun 2001 yang saya pakai sejak kelas 3 SMA.  Alasan utama semata-mata karena saya merasa tidak layak untuk menggunakan BBM bersubsidi.  Mungkin saya sudah terdoktrin oleh tulisan di spanduk-spanduk yang bertuliskan “BBM bersubsidi hanya untuk golongan tidak mampu”.  Sementara saya lebih suka merasa sebagai orang mampu, dan kenyataannya Alhamdulillah saya memang masih mampu membelinya.

Alasan lain saya menggunakan BBM non subsidi adalah agar bisa lebih hemat energi dan mengurangi polusi.  Kok bisa?  Dengan harga yang jauh lebih mahal hingga 2 kali lipat dibanding BBM subsidi, saya menjadi lebih “bijaksana” dalam pemakaiannya –kalau tidak boleh disebut “pelit”.  Misalnya untuk pergi ke kantor, saya tidak tiap hari menggunakan motor.  Setidaknya seminggu sekali saya bersepeda ke kantor.   Sesekali saya juga naik bus atau kereta.  Dengan begitu konsumsi BBM motor saya menjadi lebih hemat.  Selain itu setiap kali berhenti di lampu merah, saya lebih sering mematikan mesin motor, terutama lampu merah yang agak lama.  Mungkin penghematan yang saya dapat dari cara kedua ini hanya beberapa tetes BBM.  Tapi kelak ketika tak ada lagi sumber minyak yang bisa digali, barulah terasa manfaat tetesan-tetesan itu.

Di sisi lain, saya juga was-was dan galau dengan kenaikan harga BBM.  Selain membayangkan inflasi dan naiknya harga barang-barang sebagai dampak kenaikan ini, secara lebih spesifik yang membuat saya galau adalah kemungkinan naiknya harga bahan bangunan.  Jika kenaikan harga BBM ini memicu kenaikan harga bahan bangunan secara signifikan, maka bisa-bisa rencana KPR saya amburadul.  Semoga yang kedua ini tidak terjadi.  Amin…

Topik lain yang juga mengusik saya adalah rencana Ketua DPR untuk melarang pemakaian rok mini di lingkungan gedung DPR.  Berbagai reaksi muncul atas rencana peraturan ini.  Datangnya dari berbagai pihak, mulai sejawat anggota DPR, media, seniman, aktivis perempuan, hingga rakyat jelata.  Saya yakin sebenarnya banyak pihak yang setuju dan mendukung, tetapi tentu tidak menarik dan menjual jika headline beritanya adalah “Dukungan untuk Pelarangan Rok Mini” atau yang sejenisnya.  Makanya hampir semua media mengekspos pendapat yang menolak dan menentang.  Karena dari penolakan itulah banyak yang bisa digali dan menarik untuk dijual.

Yang lebih mengusik pikiran saya adalah siapa pihak-pihak yang selalu menolak ini?

Menurut saya, yang menolak sebuah peraturan adalah pihak-pihak yang akan terkena dampak baik secara langsung maupun tidak langsung.  Sebagai contoh saat muncul wacana hukuman mati bagi koruptor, yang menyuarakan penolakan paling lantang tentu saja para koruptor itu sendiri.  Koruptor yang saya maksud meliputi orang yang sudah melakukan, yang belum melakukan tetapi berniat untuk melakukannya suatu saat, serta orang yang tidak melakukan tetapi mendapat manfaat dari korupsi yang terjadi.  Sayangnya, tak sedikit dari mereka yang menggunakan jasa para aktivis HAM untuk menyuarakan penolakan itu.

Mungkin kondisi berbeda terjadi ketika ada wacana pelarangan rok mini di lingkungan kantor DPR.  Para pengguna rok mini mungkin ikut menyuarakan penolakan.  Yang juga ikut menolak mungkin adalah aktivis fashion, desainer, aktivis HAM, dan penjual rok mini.  Tetapi saya khawatir penolakan paling keras justru datang dari pihak yang bahkan tidak pernah menggunakan rok mini.  Mereka adalah para penikmat atau orang-orang yang banyak mendapat manfaat dari penggunaan rok mini.  Kenikmatan dan manfaat seperti apa yang mereka dapat? Biarkan imajinasi anda yang menjawabnya.

Daripada ribut-ribut terus, sebaiknya mari kita Turunkan BBM dan Naikkan Rok Mini….

 
Leave a comment

Posted by on March 16, 2012 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Penganggaran Berbasis Kinerja: Sebuah Pendekatan Baru dalam Sistem Perencanaan dan Penganggaran

 

 1.       Reformasi Perencanaan dan Penganggaran

a.      Tonggak Sejarah Reformasi

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan produk undang-undang yang menjadi tonggak sejarah reformasi di bidang perencanaan dan penganggaran nasional.  Dalam kedua undang-undang tersebut, berbagai aspek dalam ranah perencanaan dan penganggaran mengalami perubahan yang mendasar dan cukup signifikan.  Banyak hal-hal baru yang diatur dan diamanatkan oleh Undang-undang ini.

Satu hal baru yang sangat penting adalah diperkenalkannya sebuah pendekatan baru dan semangat untuk mengimplementasikannya dalam sistem perencanaan dan penganggaran.  Pendekatan baru dimaksud meliputi 3 hal yaitu:

1)      Penganggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting);

2)      Penganggaran Terpadu (Unified Budget); dan

3)      Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework).

Sebagai wujud pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, serta mengacu pada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (yang selanjutnya disebut RKA-KL).  Dalam pasal 4 peraturan tersebut secara tegas disebutkan bahwa RKA-KL disusun dengan menggunakan tiga pendekatan yang disebutkan di atas.  Dalam perkembangannya, peraturan ini telah disempurnakan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-KL yang merevisi beberapa ketentuan dalam peraturan sebelumnya.

b.      Pendekatan Baru Sistem Perencanaan dan Penganggaran

Ketiga pendekatan baru dalam sistem perencanaan dan penganggaran merupakan suatu kesatuan yang integral dengan fokus utama pada penganggaran berbasis kinerja.  Dua pendekatan lainnya merupakan prasyarat dan pendukung pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja.  Penerapan penganggaran terpadu dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja dengan memberikan gambaran yang lebih objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah.  Sedangkan kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai disiplin fiskal secara berkesinambungan serta menjadi jaminan kontinyuitas penyediaan anggaran kegiatan karena telah dirancang hingga 3 atau 5 tahun ke depan.

2.       Penganggaran Berbasis Kinerja

a.      Konsep PBK

Penganggaran berbasis kinerja merupakan sebuah pendekatan dalam sistem penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.  Ciri utama penganggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input), keluaran (output), dan hasil yang diharapkan (outcomes) sehingga dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan efisiensi pelaksanaan setiap kegiatan.  Penerapan penganggaran berbasis kinerja diharapkan diharapkan dapat memberikan informasi kinerja atas pelaksanaan suatu program/kegiatan pada suatu Kementerian/Lembaga serta dampak atau hasilnya yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Dalam konsep pendekatan PBK, dituntut adanya keterkaitan yang erat antara anggaran dengan kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu setiap unit organisasi pemerintah harus dapat menetapkan rumusan kinerja yang ingin dicapainya. Kinerja yang telah direncanakan tersebut harus bersifat terukur pencapaiannya. Untuk itu setiap unit juga harus menetapkan indikator kinerja tertentu untuk mengukur pencapaian kinerjanya. Yang jauh lebih penting, indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap unit organisasi.  Jadi informasi kinerja ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses perencanaan dan penganggaran.  Rumusan indikator kinerja beserta targetnya selanjutnya juga harus dinyatakan di dalam dokumen perencanaan termasuk Renja-KL dan RKA-KL.

Diagram 1. Kerangka PBK Tingkat KL

b.      Prinsip dan Tujuan

Penerapan PBK berpedoman pada tiga prinsip utama sebagai berikut:

Output and outcome oriented

Prinsip ini mengandung makna bahwa pengalokasian anggaran harus berorientasi pada kinerja yang akan dicapai –yang dinyatakan dalam keluaran (output) dan hasil (outcome).  Pengalokasian anggaran tidak lagi berorientasi pada ketersediaan dana (input).  Anggaran yang tersedia merupakan rencana biaya yang memang dibutuhkan untuk mencapai suatu target kinerja yang telah ditetapkan.

Let the manager manages

Prinsip ini menunjukkan adanya fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas.  Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang dalam hal ini bertindak sebagai manajer diberikan keleluasaan dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasil yang telah direncanakan.  Keleluasaan tersebut meliputi penentuan cara dan tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan.  Cara dan tahapan kegiatan tersebut memungkinkan adanya perbedaan antara yang telah direncanakan dengan pelaksanaannya.  Akan tetapi setiap manajer tetap harus bertanggung jawab penuh atas penggunaan dana dan pencapaian kinerja yang telah ditetapkan.

Money follow function, function followed by structure

Money follow function menggambarkan bahwa pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi setiap unit sesuai dengan maksud pembentukannya.  Sedangkan Function followed by structure menggambarkan bahwa struktur irganisasi yang dibentuk telah sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban oleh setiap unit.  Tugas dan fungsi tersebut telah dibagi habis dalam struktur organisasi unit yang bersangkutan sehingga dapat dipastikan tidak terjadi duplikasi tugas dan fungsi.  Dari kedua prinsip ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:

–      tercapainya efisiensi alokasi anggaran karena tidak adanya overlapping tugas, fungsi, atau kegiatan;

–      pencapaian output dan outcome dapat dilakukan secara optimal karena kegiatan yang diusulkan setiap unit benar-benar merupakan pelaksanaan dari tugas dan fungsinya.

Sedangkan tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan PBK adalah sebagai berikut:

  1. Menunjukkan keterkaitan langsung antara pendanaan dan kinerja yang akan dicapai;
  2. Meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan kegiatan;
  3. Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan pengelolaan anggaran.

c.       Komponen

Agar penerapan PBK dapat dilaksanakan secara penuh, diperlukan adanya 3 komponen utama yang harus tersedia.  Pasal 7 ayat (2) PP Nomor 21 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan adanya 3 hal yaitu:

–      indikator kinerja;

–      standar biaya; dan

–      evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.

Sedangkan pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90 Tahun 2010 menyatakan secara lebih tegas bahwa ketiga hal tersebut merupakan instrumen yang digunakan dalam penyusunan RKA-KL.  Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa idealnya ketiga komponen tersebut mutlak harus ada dalam proses PBK.  Penjelasan ketiga komponen itu adalah sebagai berikut:

Indikator kinerja

Indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu program atau kegiatan.  Dalam konteks penerapan PBK ini, indikator kinerja dibagi menjadi 3 level, yaitu:

–      Indikator Kinerja Utama (IKU) untuk menilai tingkat keberhasilan Program;

–      Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) untuk menilai tingkat keberhasilan Kegiatan; dan

–      Indikator Keluaran untuk menilai tingkat keberhasilan Subkegiatan.

Standar biaya

Standar Biaya adalah satuan biaya atau harga tertinggi dari suatu barang dan jasa baik secara mandiri maupun gabungan yang diperlukan untuk memperoleh keluaran tertentu dalam rangka penyusunan anggaran berbasis kinerja.  Standar Biaya dapat bersifat umum atau bersifat khusus.  Standar Biaya Umum (SBU) adalah satuan biaya yang merupakan batas tertinggi yang berlaku secara nasional, dimana penggunaannya bersifat lintas Kementerian Negara/Lembaga atau lintas wilayah.  Sedangkan Standar Biaya Khusus (SBK) adalah standar biaya yang digunakan untuk kegiatan yang khusus dilaksanakan Kementerian Negara/Lembaga tertentu atau di wilayah tertentu.  Idealnya standar biaya yang digunakan adalah standar biaya keluaran.  Akan tetapi pada tahap awal penerapan PBK, standar biaya yang digunakan adalah standar biaya masukan.

Evaluasi kinerja

Evaluasi kinerja adalah proses untuk menghasilkan informasi capaian kinerja yg telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dan anggaran (dalam hal ini RKA-KL).  Evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan antara target kinerja dengan hasil yang dicapai, serta membandingkan rencana penggunaan dana dengan realisasinya.  Proses ini sangat penting untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara pendanaan dengan capaian kinerja.  Tujuan lain dari evaluasi kinerja adalah untuk mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan serta sebagai umpan balik (feed back) untuk penyusunan RKA-KL dan perbaikan kinerja pada tahun berikutnya.

d.      Implementasi dan Permasalahan

Konsep PBK sudah muncul pertama kali dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, walaupun hanya diungkapkan pada bagian penjelasan.  Itu berarti semangat dan cita-cita untuk menerapkan PBK sudah dimulai sejak 9 tahun yang lalu.  Semangat dan cita-cita itu kemudian ditegaskan di dalam PP Nomor 21 Tahun 2004.  Akan tetapi sampai dengan Tahun Anggaran 2011 yang lalu, PBK masih belum diterapkan secara penuh.  Saat ini penerapan PBK bisa dikatakan masih berada pada masa transisi.  Implementasi PBK secara nyata dan komprehensif dimulai pada tahun 2009 dengan keluarnya Surat Edaran Bersama (SEB) Menteri Negara PPN/Kepala Bappennas dan Menteri Keuangan yang berisi Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran.  SEB tersebut berisi 5 buah modul yang menjelaskan secara detail mengenai konsep dan langkah-langkah kerja sebagai wujud implementasi reformasi perencanaan dan penganggaran, khususnya penerapan PBK.

Tahap-tahap implementasi PBK selengkapnya bisa dilihat pada diagram di bawah ini:

 

Diagram 2. Siklus Implementasi PBK

 

 

Dari diagram tersebut tampak bahwa penerapan PBK merupakan sebuah siklus, yang terintegrasi dengan siklus perencanaan dan penganggaran.  Siklus penerapan PBK sendiri terdiri dari 8 tahapan.  Tahap pertama yaitu penetapan sasaran strategis telah dilaksanakan seiring dengan penyusunan Renstra KL (sebagai dokumen perencanaan periode 5 tahun), yang selanjutnya dituangkan dalam dokumen manajemen kinerja berbasis BSC (sebagai dokumen periode 1 tahun).

Tahap penetapan outcome, program, output, dan kegiatan telah dilaksanakan dengan adanya restrukturisasi program dan kegiatan seluruh Kementerian/Lembaga.  Hal ini dilakukan dengan tujuan agar struktur program dan kegiatan beserta indikator kinerjanya dapat digunakan sebagai alat ukur efektivitas pencapaian sasaran pembangunan, efisiensi belanja, dan akuntabilitas kinerja.  Proses restrukturisasi program dan kegiatan ini telah dimulai pada tahun 2010 dan hasilnya mulai diterapkan pada TA 2011.  Hasil dari restrukturisasi ini diantaranya adalah setiap unit eselon I di seluruh Kementerian/Lembaga mempunyai satu rumusan program yang unik sehingga tidak ada lagi sebuah program yang dilaksanakan oleh beberapa unit eselon I.

Dengan diberlakukannya sistem manajemen kinerja berbasis BSC, penetapan IKU program dan IK kegiatan dilakukan dengan bisa memanfaatkan dokumen sumber dari sistem tersebut.  IKU dan IKK dalam penerapan PBK adalah IKU yang telah dirumuskan dalam dokumen BSC (yang selanjutnya dituangkan dalam kontrak kinerja).  Akan tetapi terdapat permasalahan dalam penetapan IKU dan IKK ini.  IKU dan IKK dituangkan dalam Renja KL dan RKA-KL, yang harus disusun sebelum dimulainya Tahun Anggaran (TA).  Sedangkan kontrak kinerja selama ini baru disusun pada awal TA berjalan.  Sehingga IKU dan IKK yang digunakan mengacu pada kontrak kinerja TA sebelumnya.  Permasalahan muncul ketika terdapat perubahan IKU dari tahun sebelumnya.  Sementara dalam sistem perencanaan dan penganggaran sejauh ini tidak menyediakan prosedur revisi IKU dan IKK.

Tahap keempat yaitu penetapan standar biaya justru telah dimulai pada TA 2007.  Dengan terbitnya PMK Nomor 96 Tahun 2006 tentang Standar Biaya Tahun 2007, standar biaya mulai digunakan dalam penyusunan RKA-KL.  Standar biaya berlaku untuk 1 TA dan pada TA berikutnya akan ditetapkan standar biaya yang baru untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi perekonomian khususnya terkait inflasi.

Tahap penghitungan kebutuhan anggaran sekaligus pengalokasiannya merupakan tahap yang membutuhkan perhitungan matematis dan detail tentang kebutuhan kebutuhan anggaran untuk membiayai pelaksanaan kegiatan selama 1 tahun yang akan datang.  Tahap ini diawali dengan penetapan fokus prioritas, baik di tingkat nasional, tingkat KL, maupun tingkatan di bawahnya.  Selanjutnya harus ditetapkan target yang akan dicapai oleh setiap unit selama satu TA.  Dengan memperhatikan ketersediaan anggaran yang ada, seluruh program dan kegiatan beserta target-targetnya dituangkan dalam rincian pendanaan dengan mengacu pada standar biaya yang berlaku.  Sedangkan tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban dilaksanakan dengan mengacu pada sistem perbendaharaan dan pertanggungjawaban yang berlaku.

Tahap terakhir yaitu pengukuran dan evaluasi kinerja hingga saat ini belum dilaksanakan.  Selain karena implementasi PBK secara penuh baru dimulai pada TA 2011, pedoman sekaligus petunjuk teknis pelaksanaan pengukuran dan evaluasi kinerja baru ditetapkan pada akhir tahun 2011 dengan terbitnya PMK Nomor 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Atas Pelaksanaan RKA-KL.  PMK ini mengatur secara rinci mengenai aspek apa saja yang akan dilakukan pengukuran dan evaluasi, termasuk tata cara perhitungan dan pengukurannya, serta kebutuhan data dan infrastruktur pendukung yang harus tersedia.  Belum ada kepastian kapan ketentuan dalam PMK ini akan mulai diberlakukan.

Di samping 8 tahap yang digambarkan dalam diagram, bentuk implementasi lainnya adalah penggunaan format baru RKA-KL yang juga mulai diterapkan pada Tahun Anggaran 2011.  Format baru ini dirancang untuk dapat memfasilitasi penerapan PBK dengan memberikan informasi yang lebih jelas tentang perencanaan dan penganggaran.  Format baru ini diharapkan dapat menyajikan informasi kinerja dan keterkaitan antara biaya, kegiatan, keluaran, program, dan hasil secara jelas.  Salah satu perbedaan utama dalam format baru ini adalah penyederhanaan dokumen RKA-KL yang sebelumnya terdiri dari 13 formulir menjadi hanya 3 formulir saja.

e.       Peluang dan Tantangan

Penerapan PBK memang diharapkan akan memberikan banyak manfaat sekaligus mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam sistem perencanaan dan penganggaran yang sudah berlaku.  Akan tetapi PBK baru akan memberikan dampak yang signifikan ketika diterapkan secara optimal dan konsisten.  Di masa transisi sekarang ini masih terdapat beberapa permasalahan terkait penerapan PBK, diantaranya masih adanya anggapan bahwa anggaran merupakan “jatah” yang harus dihabiskan oleh setiap unit untuk melaksanakan kegiatannya selama satu TA.  Persoalan lain adalah terkait perumusan indikator kinerja yang belum sepenuhnya dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan atau program.  Akan tetapi dengan komitmen dan kontribusi semua pihak serta adanya dukungan perangkat peraturan yang komprehensif, diharapkan akan terus terjadi perbaikan dan kemajuan dalam penerapan PBK.

 

 

 
13 Comments

Posted by on March 15, 2012 in Lain-lain, Serius nan Ngilmiah