“Mendatangi tempat-tempat yang sulit untuk didatangi, menikmati keindahan yang tersembunyi, mengagumi indahnya karya sang Mahaindah, selalu menjadi obsesi yang tak pernah terpuaskan.”
26 Desember 2008
Pesawat kami mendarat di Bandara Selaparang, Mataram sekitar pukul 19.00 WITA. Inilah pertama kali saya menjejakkan kaki di luar Pulau Jawa, selain Bali tentunya. Kesan pertama: kota ini panas, bahkan untuk saya yang sudah lama tinggal di Jakarta. Setelah berfoto-foto sejenak, kami langsung mengambil barang bawaan kami dari bagasi. Tak lama kemudian Mas Tamim sudah datang menjemput kami. Mas Tamim ini adalah seorang alumni STAN yang penempatan di Mataram. Di rumah kontrakannya lah kami akan menginap, sekaligus menjadi basecamp kami selama di Pulau Lombok ini. Rombongan sebelumnya yang mendaki Rinjani juga menginap di rumah Mas Tamim, dari merekalah kami kenal dia dan mendapat rekomendasi.
Layaknya sahabat sesama perantauan di negeri seberang, sambutan dari Mas Tamim dan teman-teman lain –termasuk Feri Ojek, anak Kediri seangkatan saya yang ternyata juga penempatan di Mataram- begitu hangat dan ramah. Beruntung beberapa penghuni kontrakan sedang pulang kampung, sehingga ada kamar yang bisa kami tempati. Malam itu, dengan mengendarai motor kami langsung diajak berwisata kuliner di tengah kota. Menu utamanya jelas Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung khas Lombok yang terkenal itu. Sebenarnya kasihan juga melihat anak ayam sekecil itu sudah harus menjadi santapan orang-orang kelaparan seperti kami ini. Tapi apa mau dikata, sebagai tamu yang tak mau mengecewakan tuan rumahnya, seluruh hidangan pun kami babat habis.
27 Desember 2008
Selepas sholat Jumat dan makan siang kami berangkat ke Sembalun, yang merupakan pintu gerbang sekaligus titik awal pendakian ke Gunung Rinjani. Untuk menuju kesana kami menggunakan sebuah mobil pick-up dealer motor yang dikemudikan seorang teman Mas Tamim yang bekerja di sana. Perjalanan memakan waktu hampir 3 jam. Cuaca panas di awal perjalanan berubah menjadi rintik hujan di tengah hingga akhir perjalanan. Kami pun terpaksa mengenakan raincoat karena hujan tak kunjung reda.
Untuk menuju Sembalun, kami harus melewati beberapa perbukitan dengan tanjakan yang cukup curam. Mobil yang kami tumpangi hanya mau melaju pelan. Bahkan di beberapa tanjakan dia sedikit manja sehingga kami harus turun sambil menyemangatinya agar terus maju. Dan akhirnya sampai juga kami di Pos Taman Nasional Gunung Rinjani Sembalun. Sebuah kejutan menunggu saya di sana.
Di sana kami bertemu Bang Iday, senior kami di STAPALA, bersama istrinya. Kenapa ini kejutan bagi saya? Karena orang inilah salah satu penyebab saya ada di sana saat itu. Gara-gara foto-foto dan cerita perjalanannya ke Rinjani itulah yang membersitkan obsesi saya untuk mendakinya juga. Rupanya mereka berdua sedang keliling Lombok dengan menggunakan motor. Di Sembalun mereka hanya akan menginap di pos pendakian, tidak bermaksud mendaki Rinjani.
Setelah ramah tamah sejenak, kami langsung menyelesaikan urusan administrasi perijinan pendakian kemudian mencari penginapan. Di dalam kompleks pos taman nasional terdapat fasilitas penginapan sederhana yang lebih dari memadai bagi kami. Karena dalam 1 kamar hanya ada 1 tempat tidur, dan kami ingin istirahat nyaman malam itu, maka kami menyewa 2 kamar. Rencananya kami baru akan memulai pendakian besok pagi.
Tapi manusia memang hanya bisa berencana, jika Allah berkehendak lain, apa mau dikata. Tiba-tiba perut saya diserang rasa nyeri yang aneh. Otot-otonya terasa sangat sakit dan kaku saat berkontraksi. Jangankan untuk mengangkat carrier, untuk sekedar berjalan dan tertawa pun sakitnya minta ampun. Malam harinya badan saya menggigil, demam, dan perut mual. Kami semua sepakat bahwa saya terkena kram perut. Mungkin ini gara-gara kehujanan dan terkena paparan angin di sepanjang perjalanan tadi siang. Karena kondisi saya yang tak kunjung membaik, ditambah lagi kami belum mendapatkan porter, maka kami putuskan untuk menunda pendakian hingga lusa.
28 Desember 2008
Kondisi saya sudah mulai membaik, demam saya sudah turun dan mual juga sudah hilang. Tapi rasa nyeri di perut masih terasa. Seharian saya hanya berjalan-jalan di sekitar penginapan. Sedangkan teman-teman pergi ke pasar untuk membeli beberapa perbekalan serta mencari porter. Beberapa sayuran, bumbu dapur, buah-buahan, hingga ayam siap masak resmi menambah daftar perbekalan kami. 2 orang porter dengan tarif 80 ribu per hari juga telah kami dapatkan.
Sore harinya kami langsung packing terakhir. Muatan carrier kami hanya tinggal pakaian, perlengkapan pribadi, beberapa makanan kecil, tabung gas, dan obat-obatan. Sedangkan perbekalan logistik, air, tenda, dan peralatan masak menjadi bagian porter kami. Beban yang akan diangkut masing-masing porter tak kurang dari 15 kg. Mereka lebih suka mengangkut bawaannya dengan pikulan daripada menggunakan carrier. Menurut mereka, menggunakan carrier tidak nyaman dan justru membuat lebih cepat capek.
29 Desember 2008
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan melakukan persiapan akhir. Cuaca cukup cerah pagi itu dan puncak Rinjani tampak begitu megah menanti kedatangan kami. Sekitar pukul 06.45 WITA kami berdelapan sudah siap berangkat. Setelah berdoa dan tos, kami pun memulai pendakian tepat pukul 07.00 WITA. Kami mengawali pendakian melalui jalan beraspal yang relatif masih cukup landai. Sekitar 15 menit berjalan, kami mulai memasuki jalan setapak dengan hamparan kebun dan padang rumput sejauh mata memandang.
Matahari mulai meninggi. Jalur pendakian yang terbuka dan puncak Rinjani yang tampak masih begitu jauh benar-benar menguji fisik dan mental kami. Beruntung hijaunya padang rumput dan birunya langit Lombok cukup menyejukkan mata dan hati kami. Sekitar pukul 9.15 kami sampai di sebuah pondok terbuka beratap seng ditengah hamparan padang rumput, yang menurut porter adalah Pos 1. Cuaca masih cukup cerah walaupun kabut mulai turun menutupi puncak. Kami beristirahat sejenak untuk sekedar mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras.
Allah memang Maha Berkehendak dan alam memang tidak bisa diprediksi. Matahari tiba-tiba menghilang dan digantikan rintik hujan. Sekitar pukul 10.00 kami tiba di Pos 2. Pos ini hanya sebuah bangunan terbuka berukuran 3 x 3 meter beratap seng yang terletak di sebuah lembah. Kami beristirahat sejenak untuk sekedar membasahi tenggorokan dan melahap beberapa potong buah pir.
Selepas Pos 2, kondisi jalur masih bervariasi. Beberapa tanjakan yang masih cukup landai dan sesekali jalan datar kami lalui dengan perlahan. Rintik hujan pun telah reda. Tak ada halangan berarti yang kami hadapi. Sekitar pukul 11.30 kami sampai di Pos 3. Bentuk pos ini tak jauh berbeda dengan 2 pos sebelumnya. Letaknya di sebuah lembah bersebelahan dengan bekas aliran sungai yang telah lama mongering. Di sini kami berisitirahat cukup lama untuk sholat dan makan siang. Menunya nasi bungkus yang kami bawa dari bawah. Kami juga membuat teh manis panas untuk menambah energi dan menghangatkan badan karena dinginnya udara mulai menusuk.
Bicara soal teh panas saya jadi ingat soal termos stainless steel baru berkapasitas 1 liter itu. Di saat seperti inilah sebenarnya termos itu akan sangat berguna. Ah iya, saya belum menceritakan lanjutan kisah termos itu. Ternyata menemani perjalanan di kereta dengan kopi hitam itu adalah jasa pertama dan terakhir sang termos dalam perjalanan kami ini. Gara-gara tiket pesawat -yang entah karena salah siapa atau perintah dari mana- yang tiba-tiba merubah jam keberangkatannya, kami harus terburu-buru berangkat ke bandara. Gara-gara berangkat terburu-buru itulah, kami melupakan sesuatu di rumah Mas Godel. Dialah si termos. Beruntung saya juga membawa termos serupa, walaupun dengan kapasitas hanya setengahnya.3
Selepas Pos 3 dimulailah ujian yang sebenarnya. Jalur mulai monoton. Yang ada hanya tanjakan dan tanjakan yang semakin curam. Bahan bakar yang sudah terisi penuh cukup membantu, di satu sisi. Tapi di sisi lain, karena istirahat yang cukup lama, otot-otot kami yang tadinya sudah panas menjadi rileks dan mendingin kembali. Begitu melanjutkan perjalanan tanjakan curam langsung menyambut. Akibatnya, wabah kram otot kaki mulai menyerang. Saya, Iyok, dan Uhe yang jadi korbannya. Pergerakan kami menjadi sangat lambat. Rombongan pun mulai terpecah menjadi dua. Hilman, Ko Tepi, dan 2 porter kami melaju jauh di depan. Sedangkan rombongan penderita kram ditambah Ari Tompel tertatih-tatih di belakang.
Jalur yang kami lalui mulai dihiasi banyak pepohonan. Cuaca berkabut dan cukup dingin. Dalam kondisi dingin seperti ini, kram otot kami semakin subur. Counterpain pun kami balurkan ke kaki. Kemiringan jalur ini benar-benar menakjubkan. Saya perkirakan tak kurang dari 45 derajat elevasi nya. Mungkin inilah yang orang bilang “Bukit Penyesalan”. Sebuah bukit yang membuat orang menyesali keputusannya untuk mendaki Gunung Rinjani. Tapi kami tak pernah menyesal. Kami hanya terus melangkah dan melangkah.
Sekitar pukul 15.45 saya sampai di sebuah dataran dengan penunjuk arah “Pelawangan”. Dengan keterbatasan jarak pandang, saya lihat ke depan tak ada lagi tanjakan. Mungkin inilah titik akhir “Bukit Penyesalan”. Dan memang benar, tak ada lagi tanjakan berarti di depan. Pelawangan Sembalun, yang merupakan tujuan akhir kami hari itu, semakin dekat. Dan tepat pukul 16.30 WITA seluruh tim telah berkumpul di Pelawangan. Kami semua bersyukur dan saling mengucapkan selamat atas keberhasilan kami.
Selanjutnya kami langsung bergerak cepat membuka tenda, sebelum hari berubah gelap. Beberapa kelompok pendaki lain juga telah berkumpul dan membuka tenda di sana. Setelah tenda terpasang dan barang-barang tertata rapi kami menikmati suguhan keindahan alam yang telah tersaji. Danau Segara Anak dan Gunung Baru di tengahnya begitu mempesonakan kami. Tak bosan-bosan kami duduk memandanginya sambil berfoto-foto. Puas berfoto-foto kami segera menyiapkan makan malam.
Setelah makan malam kami langsung istirahat. Tak ada acara apa-apa malam itu, karena dini hari nanti kami harus melakukan summit attack. Itulah target utama kami, mencapai puncak.
30 Desember 2008
Pukul 01.00 dini hari kami bangun dan bersiap-siap melakukan summit attack. Pakaian, perbekalan, obat-obatan, bendera STAPALA, dan tentunya kamera telah siap. Kami pun siap berangkat. Para porter tetap di tenda untuk menjaga barang-barang. Pukul 01.30 kami pun meninggalkan hangatnya tenda menuju puncak. Di luar beberapa para pendaki lain juga sudah memulai pendakian. Jalur menuju puncak ternyata jauh lebih berat dibandingkan Bukit Penyesalan. Di samping elevasi yang cukup curam, kondisi jalur yang didominasi pasir yang cukup tebal membuat langkah kaki semakin berat. Setiap kali melangkah, kaki kami ambles dan merosot ke belakang. Kata teman-teman: “Ini sih majunya satu langkah mundurnya dua langkah, kapan nyampe nya…”
Rombongan kembali terpecah menjadi dua. Di garis depan masih ditempati Hilman, Ko Tepi, ditambah Uhe yang kali ini tak lagi kram dan berhasil menyodok ke depan. Sedangkan saya, Iyok, dan Ari Tompel tetap setia di belakang. Iyok mengeluh pusing dan mual, mungkin terserang mountain sickness. Saya tak tega meninggalkan dia dalam kondisi seperti itu. Walaupun sebenarnya saya memang tak sanggup lagi bergerak lebih cepat dari itu. Sedangkan Ari Tompel, mungkin dia memang ditakdirkan untuk menjadi sweeper. Karena walaupun saya tahu dia mampu berjalan lebih cepat, tapi dia tetap setia mengawal kami. Target untuk menikmati sunrise dari puncak gagal sudah. Hari sudah terang, tapi kami masih tertatih-tatih di kubangan pasir itu. Padahal puncak sudah terlihat jelas di depan mata kami. Target pun sedikit kami revisi: Seluruh anggota tim harus sampai di puncak.
Sekitar pukul 5.30 WITA seluruh tim berhasil mencapai puncak Rinjani. Sujud syukur yang pertama saya lakukan. Selanjutnya kami saling berucap selamat dan berpelukan demi merayakan keberhasilan ini. Semua rasa lelah, letih, lesu mendadak sirna saat itu. Berganti dengan rasa syukur, kepuasan, dan kebahagaiaan yang membuncah dan bercampur menjadi satu. Sebuah rasa yang tak bisa diceritakan atau digambarkan. Hanya bisa anda coba dan rasakan sendiri secara langsung.
Setelah puas mengabadikan momen keberhasilan dan indahnya lukisan alam di atas sana, pukul 7.00 kami turun. Berbeda dengan perjalanan naik, medan pasir yang tadi menghambat kami, sekarang justru menguntungkan kami. Jika tadi kami maju satu langkah mundur dua langkah, maka sekarang maju satu langkah hasilnya sama dengan tiga langkah. Kami melaju dan meliuk-liuk di atas jalur pasir layaknya atlet ski sedang berlomba menjadi yang tercepat. Sesekali kami berhenti untuk sekedar menikmati dan mengagumi keindahan danau Segara Anak dan Gunung Baru. Sebelum pukul 9.00 kami semua telah berkumpul kembali di Pelawangan dengan selamat.
Alhamdulillah….
Bersambung…