RSS

3.726 m dpl, pergantian tahun di puncak sang dewi (part #2)

“Mendatangi tempat-tempat yang sulit untuk didatangi, menikmati keindahan yang tersembunyi, mengagumi indahnya karya sang Mahaindah, selalu menjadi obsesi yang tak pernah terpuaskan.”

26 Desember 2008

Pesawat kami mendarat di Bandara Selaparang, Mataram sekitar pukul 19.00 WITA. Inilah pertama kali saya menjejakkan kaki di luar Pulau Jawa, selain Bali tentunya. Kesan pertama: kota ini panas, bahkan untuk saya yang sudah lama tinggal di Jakarta. Setelah berfoto-foto sejenak, kami langsung mengambil barang bawaan kami dari bagasi. Tak lama kemudian Mas Tamim sudah datang menjemput kami. Mas Tamim ini adalah seorang alumni STAN yang penempatan di Mataram. Di rumah kontrakannya lah kami akan menginap, sekaligus menjadi basecamp kami selama di Pulau Lombok ini. Rombongan sebelumnya yang mendaki Rinjani juga menginap di rumah Mas Tamim, dari merekalah kami kenal dia dan mendapat rekomendasi.

Bandara Selaparang, Mataram

Layaknya sahabat sesama perantauan di negeri seberang, sambutan dari Mas Tamim dan teman-teman lain –termasuk Feri Ojek, anak Kediri seangkatan saya yang ternyata juga penempatan di Mataram- begitu hangat dan ramah. Beruntung beberapa penghuni kontrakan sedang pulang kampung, sehingga ada kamar yang bisa kami tempati. Malam itu, dengan mengendarai motor kami langsung diajak berwisata kuliner di tengah kota. Menu utamanya jelas Ayam Taliwang dan Plecing Kangkung khas Lombok yang terkenal itu. Sebenarnya kasihan juga melihat anak ayam sekecil itu sudah harus menjadi santapan orang-orang kelaparan seperti kami ini. Tapi apa mau dikata, sebagai tamu yang tak mau mengecewakan tuan rumahnya, seluruh hidangan pun kami babat habis.

Ayam taliwang, nyam...

27 Desember 2008

Selepas sholat Jumat dan makan siang kami berangkat ke Sembalun, yang merupakan pintu gerbang sekaligus titik awal pendakian ke Gunung Rinjani. Untuk menuju kesana kami menggunakan sebuah mobil pick-up dealer motor yang dikemudikan seorang teman Mas Tamim yang bekerja di sana. Perjalanan memakan waktu hampir 3 jam. Cuaca panas di awal perjalanan berubah menjadi rintik hujan di tengah hingga akhir perjalanan. Kami pun terpaksa mengenakan raincoat karena hujan tak kunjung reda.

Ini bukan mobil dari sponsor lho...

Kehujanan dan keanginan sepanjang jalan

Untuk menuju Sembalun, kami harus melewati beberapa perbukitan dengan tanjakan yang cukup curam. Mobil yang kami tumpangi hanya mau melaju pelan. Bahkan di beberapa tanjakan dia sedikit manja sehingga kami harus turun sambil menyemangatinya agar terus maju. Dan akhirnya sampai juga kami di Pos Taman Nasional Gunung Rinjani Sembalun. Sebuah kejutan menunggu saya di sana.

Di sana kami bertemu Bang Iday, senior kami di STAPALA, bersama istrinya. Kenapa ini kejutan bagi saya? Karena orang inilah salah satu penyebab saya ada di sana saat itu. Gara-gara foto-foto dan cerita perjalanannya ke Rinjani itulah yang membersitkan obsesi saya untuk mendakinya juga. Rupanya mereka berdua sedang keliling Lombok dengan menggunakan motor. Di Sembalun mereka hanya akan menginap di pos pendakian, tidak bermaksud mendaki Rinjani.

Setelah ramah tamah sejenak, kami langsung menyelesaikan urusan administrasi perijinan pendakian kemudian mencari penginapan. Di dalam kompleks pos taman nasional terdapat fasilitas penginapan sederhana yang lebih dari memadai bagi kami. Karena dalam 1 kamar hanya ada 1 tempat tidur, dan kami ingin istirahat nyaman malam itu, maka kami menyewa 2 kamar. Rencananya kami baru akan memulai pendakian besok pagi.

Pintu gerbang Taman Nasional Gunung Rinjani

Tapi manusia memang hanya bisa berencana, jika Allah berkehendak lain, apa mau dikata. Tiba-tiba perut saya diserang rasa nyeri yang aneh.  Otot-otonya terasa sangat sakit dan kaku saat berkontraksi. Jangankan untuk mengangkat carrier, untuk sekedar berjalan dan tertawa pun sakitnya minta ampun. Malam harinya badan saya menggigil, demam, dan perut mual. Kami semua sepakat bahwa saya terkena kram perut. Mungkin ini gara-gara kehujanan dan terkena paparan angin di sepanjang perjalanan tadi siang. Karena kondisi saya yang tak kunjung membaik, ditambah lagi kami belum mendapatkan porter, maka kami putuskan untuk menunda pendakian hingga lusa.

28 Desember 2008

Kondisi saya sudah mulai membaik, demam saya sudah turun dan mual juga sudah hilang. Tapi rasa nyeri di perut masih terasa. Seharian saya hanya berjalan-jalan di sekitar penginapan. Sedangkan teman-teman pergi ke pasar untuk membeli beberapa perbekalan serta mencari porter. Beberapa sayuran, bumbu dapur, buah-buahan, hingga ayam siap masak resmi menambah daftar perbekalan kami. 2 orang porter dengan tarif 80 ribu per hari juga telah kami dapatkan.

Packing bawaan porter

Sore harinya kami langsung packing terakhir. Muatan carrier kami hanya tinggal pakaian, perlengkapan pribadi, beberapa makanan kecil, tabung gas, dan obat-obatan. Sedangkan perbekalan logistik, air, tenda, dan peralatan masak menjadi bagian porter kami. Beban yang akan diangkut masing-masing porter tak kurang dari 15 kg. Mereka lebih suka mengangkut bawaannya dengan pikulan daripada menggunakan carrier. Menurut mereka, menggunakan carrier tidak nyaman dan justru membuat lebih cepat capek.

29 Desember 2008

Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan melakukan persiapan akhir. Cuaca cukup cerah pagi itu dan puncak Rinjani tampak begitu megah menanti kedatangan kami. Sekitar pukul 06.45 WITA kami berdelapan sudah siap berangkat. Setelah berdoa dan tos, kami pun memulai pendakian tepat pukul 07.00 WITA. Kami mengawali pendakian melalui jalan beraspal yang relatif masih cukup landai. Sekitar 15 menit berjalan, kami mulai memasuki jalan setapak dengan hamparan kebun dan padang rumput sejauh mata memandang.

Persiapan akhir di penginapan

Matahari mulai meninggi. Jalur pendakian yang terbuka dan puncak Rinjani yang tampak masih begitu jauh benar-benar menguji fisik dan mental kami. Beruntung hijaunya padang rumput dan birunya langit Lombok cukup menyejukkan mata dan hati kami. Sekitar pukul 9.15 kami sampai di sebuah pondok terbuka beratap seng ditengah hamparan padang rumput, yang menurut porter adalah Pos 1. Cuaca masih cukup cerah walaupun kabut mulai turun menutupi puncak. Kami beristirahat sejenak untuk sekedar mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras.

Allah memang Maha Berkehendak dan alam memang tidak bisa diprediksi. Matahari tiba-tiba menghilang dan digantikan rintik hujan. Sekitar pukul 10.00 kami tiba di Pos 2. Pos ini hanya sebuah bangunan terbuka berukuran 3 x 3 meter beratap seng yang terletak di sebuah lembah. Kami beristirahat sejenak untuk sekedar membasahi tenggorokan dan melahap beberapa potong buah pir.

Salah satu porter kami

Selepas Pos 2, kondisi jalur masih bervariasi. Beberapa tanjakan yang masih cukup landai dan sesekali jalan datar kami lalui dengan perlahan. Rintik hujan pun telah reda. Tak ada halangan berarti yang kami hadapi. Sekitar pukul 11.30 kami sampai di Pos 3. Bentuk pos ini tak jauh berbeda dengan 2 pos sebelumnya. Letaknya di sebuah lembah bersebelahan dengan bekas aliran sungai yang telah lama mongering. Di sini kami berisitirahat cukup lama untuk sholat dan makan siang. Menunya nasi bungkus yang kami bawa dari bawah. Kami juga membuat teh manis panas untuk menambah energi dan menghangatkan badan karena dinginnya udara mulai menusuk.

Pos 3, sholat dan makan siang

Bicara soal teh panas saya jadi ingat soal termos stainless steel baru berkapasitas 1 liter itu. Di saat seperti inilah sebenarnya termos itu akan sangat berguna. Ah iya, saya belum menceritakan lanjutan kisah termos itu. Ternyata menemani perjalanan di kereta dengan kopi hitam itu adalah jasa pertama dan terakhir sang termos dalam perjalanan kami ini. Gara-gara tiket pesawat -yang entah karena salah siapa atau perintah dari mana- yang tiba-tiba merubah jam keberangkatannya, kami harus terburu-buru berangkat ke bandara. Gara-gara berangkat terburu-buru itulah, kami melupakan sesuatu di rumah Mas Godel. Dialah si termos.  Beruntung saya juga membawa termos serupa, walaupun dengan kapasitas hanya setengahnya.3

  • Istirahat di Pos 3

Selepas Pos 3 dimulailah ujian yang sebenarnya. Jalur mulai monoton. Yang ada hanya tanjakan dan tanjakan yang semakin curam. Bahan bakar yang sudah terisi penuh cukup membantu, di satu sisi. Tapi di sisi lain, karena istirahat yang cukup lama, otot-otot kami yang tadinya sudah panas menjadi rileks dan mendingin kembali. Begitu melanjutkan perjalanan tanjakan curam langsung menyambut. Akibatnya, wabah kram otot kaki mulai menyerang. Saya, Iyok, dan Uhe yang jadi korbannya. Pergerakan kami menjadi sangat lambat. Rombongan pun mulai terpecah menjadi dua. Hilman, Ko Tepi, dan 2 porter kami melaju jauh di depan. Sedangkan rombongan penderita kram ditambah Ari Tompel tertatih-tatih di belakang.

Jalur yang kami lalui mulai dihiasi banyak pepohonan. Cuaca berkabut dan cukup dingin. Dalam kondisi dingin seperti ini, kram otot kami semakin subur. Counterpain pun kami balurkan ke kaki. Kemiringan jalur ini benar-benar menakjubkan. Saya perkirakan tak kurang dari 45 derajat elevasi nya. Mungkin inilah yang orang bilang “Bukit Penyesalan”. Sebuah bukit yang membuat orang menyesali keputusannya untuk mendaki Gunung Rinjani. Tapi kami tak pernah menyesal. Kami hanya terus melangkah dan melangkah.

"Bukit Penyesalan", bisa dikira-kira sudut kemiringannya

Sekitar pukul 15.45 saya sampai di sebuah dataran dengan penunjuk arah “Pelawangan”. Dengan keterbatasan jarak pandang, saya lihat ke depan tak ada lagi tanjakan. Mungkin inilah titik akhir “Bukit Penyesalan”. Dan memang benar, tak ada lagi tanjakan berarti di depan. Pelawangan Sembalun, yang merupakan tujuan akhir kami hari itu, semakin dekat. Dan tepat pukul 16.30 WITA seluruh tim telah berkumpul di Pelawangan. Kami semua bersyukur dan saling mengucapkan selamat atas keberhasilan kami.

Tenda kami

Selanjutnya kami langsung bergerak cepat membuka tenda, sebelum hari berubah gelap. Beberapa kelompok pendaki lain juga telah berkumpul dan membuka tenda di sana. Setelah tenda terpasang dan barang-barang tertata rapi kami menikmati suguhan keindahan alam yang telah tersaji. Danau Segara Anak dan Gunung Baru di tengahnya begitu mempesonakan kami. Tak bosan-bosan kami duduk memandanginya sambil berfoto-foto. Puas berfoto-foto kami segera menyiapkan makan malam.

Setelah makan malam kami langsung istirahat. Tak ada acara apa-apa malam itu, karena dini hari nanti kami harus melakukan summit attack. Itulah target utama kami, mencapai puncak.

30 Desember 2008

Pukul 01.00 dini hari kami bangun dan bersiap-siap melakukan summit attack. Pakaian, perbekalan, obat-obatan, bendera STAPALA, dan tentunya kamera telah siap. Kami pun siap berangkat. Para porter tetap di tenda untuk menjaga barang-barang. Pukul 01.30 kami pun meninggalkan hangatnya tenda menuju puncak. Di luar beberapa para pendaki lain juga sudah memulai pendakian. Jalur menuju puncak ternyata jauh lebih berat dibandingkan Bukit Penyesalan. Di samping elevasi yang cukup curam, kondisi jalur yang didominasi pasir yang cukup tebal membuat langkah kaki semakin berat. Setiap kali melangkah, kaki kami ambles dan merosot ke belakang. Kata teman-teman: “Ini sih majunya satu langkah mundurnya dua langkah, kapan nyampe nya…”

Rombongan kembali terpecah menjadi dua. Di garis depan masih ditempati Hilman, Ko Tepi, ditambah Uhe yang kali ini tak lagi kram dan berhasil menyodok ke depan. Sedangkan saya, Iyok, dan Ari Tompel tetap setia di belakang. Iyok mengeluh pusing dan mual, mungkin terserang mountain sickness. Saya tak tega meninggalkan dia dalam kondisi seperti itu. Walaupun sebenarnya saya memang tak sanggup lagi bergerak lebih cepat dari itu. Sedangkan Ari Tompel, mungkin dia memang ditakdirkan untuk menjadi sweeper. Karena walaupun saya tahu dia mampu berjalan lebih cepat, tapi dia tetap setia mengawal kami.  Target untuk menikmati sunrise dari puncak gagal sudah. Hari sudah terang, tapi kami masih tertatih-tatih di kubangan pasir itu. Padahal puncak sudah terlihat jelas di depan mata kami. Target pun sedikit kami revisi: Seluruh anggota tim harus sampai di puncak.

Puncak...

Sekitar pukul 5.30 WITA seluruh tim berhasil mencapai puncak Rinjani. Sujud syukur yang pertama saya lakukan. Selanjutnya kami saling berucap selamat dan berpelukan demi merayakan keberhasilan ini. Semua rasa lelah, letih, lesu mendadak sirna saat itu. Berganti dengan rasa syukur, kepuasan, dan kebahagaiaan yang membuncah dan bercampur menjadi satu. Sebuah rasa yang tak bisa diceritakan atau digambarkan. Hanya bisa anda coba dan rasakan sendiri secara langsung.

Perjalanan turun, perosotan...

Jalur pasir hisap

Setelah puas mengabadikan momen keberhasilan dan indahnya lukisan alam di atas sana, pukul 7.00 kami turun. Berbeda dengan perjalanan naik, medan pasir yang tadi menghambat kami, sekarang justru menguntungkan kami. Jika tadi kami maju satu langkah mundur dua langkah, maka sekarang maju satu langkah hasilnya sama dengan tiga langkah. Kami melaju dan meliuk-liuk di atas jalur pasir layaknya atlet ski sedang berlomba menjadi yang tercepat. Sesekali kami berhenti untuk sekedar menikmati dan mengagumi keindahan danau Segara Anak dan Gunung Baru. Sebelum pukul 9.00 kami semua telah berkumpul kembali di Pelawangan dengan selamat.

Alhamdulillah….

Bersambung…

 
1 Comment

Posted by on August 12, 2011 in Perjalanan

 

3.726 m dpl, pergantian tahun di puncak sang dewi (part #1)

“Mendatangi tempat-tempat yang sulit untuk didatangi, menikmati keindahan yang tersembunyi, mengagumi indahnya karya sang Mahaindah, selalu menjadi obsesi yang tak pernah terpuaskan.”

Keinginan berkunjung ke Gunung Rinjani berawal ketika saya melihat pameran foto karya rekan-rekan Stapala yang melakukan pendakian ke Gunung Rinjani pada sekitar pertengahan 2006 lalu. Keindahan Rinjani yang ditampilkan dalam bingkai-bingkai hasil bidikan Mas Iday dan Mas Anis memaksa saya untuk berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat nanti saya harus kesana. Tak cukup foto-foto itu untuk memuaskan hasrat saya mencumbui kecantikannya.

Dua tahun kemudian, janji itu terbayar tuntas. Tepatnya tanggal 25 Desember 2008 – 3 Januari 2009, bersama 5 orang sahabat, saya berkesempatan untuk mengunjungi Pulau Lombok. Mereka adalah Ko Tepi, Hilman, Iyok, Ari Tompel, dan Uhe. Saya dan Ko Tepi pada saat itu baru saja menyelesaikan pendidikan D IV dan sedang menunggu pemanggilan untuk kembali masuk kantor, sehingga waktu tidak jadi soal bagi kami berdua. Sedangkan Hilman, Iyok, Ari Tompel, dan Uhe harus mengambil cuti tahunan.

Jakarta – Surabaya

Tanggal 25 sore kami berangkat dari Posko STAPALA di Kampus STAN Bintaro menuju Stasiun Gambir. Pada etape pertama ini kami akan menuju ke Surabaya dengan menggunakan KA Gumarang kelas Bisnis. Untuk menghemat ongkos transport, kami menuju Surabaya menggunakan kereta api. Dari Surabaya kami baru naik pesawat ke Mataram. Begitu juga perjalanan pulang nanti. Cara ini kami pikir adalah paling moderat dari segi biaya dan waktu, dibandingkan dengan naik pesawat atau naik bus langsung dari Jakarta ke Mataram. Dengan pesawat, waktu tempuh menjadi lebih cepat, tetapi dengan biaya yang lebih mahal. Sedangkan dengan bus, biaya jauh lebih murah tetapi dengan konsekuensi waktu tempuh menjadi jauh lebih lama.

Ritual pelepasan ala Posko, Berdoa dan Tos...

Dari Posko, kami hanya berangkat berlima dengan carter angkot. Ko Tepi langsung berangkat dari rumahnya di daerah Rawamangun, karena masih dalam suasana perayaan Hari Natal. Perjalanan menuju Surabaya dilalui dengan lancar. Sepanjang perjalanan kami habiskan waktu dengan bermain Truff, permainan kartu terpopuler di kalangan anak-anak Stapala saat itu. Sejak dari stasiun tadi, kami ditemani kopi hitam satu termos penuh.  Sebuah termos stainless steel baru berkapasitas 1 liter, milik Ko Tepi, yang begitu dibanggakannya.  Dengan termos ini, dalam pendakian nanti kami bisa selalu bisa ditemani minuman hangat di sepanjang perjalanan, mungkin begitu pikirnya.  Tapi apa yang terjadi dengan si termos? Kita lihat saja nanti.

Playing Truff all night long...

Sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya sekitar pukul 7.00 pagi. Tempat yang kami cari pertama adalah tempat makan, karena perut sudah menuntut haknya, setelah semalam dia hanya menyantap nasi bungkus khas kereta api. Soto khas Madura jadi menu sarapan pilihan kami. Setelah perut kenyang kami langsung menuju ke tempat transit yaitu rumah dinas Mas Godel, seorang teman SMA Ari Tompel yang bekerja di Bandara Juanda.  Letak rumah itu berdekatan dengan kompleks Bandara, tak lebih dari 3 kilometer saja jaraknya. Kami kesana menggunakan sebuah mobil carteran.

Soto daging asli Madura, Nyam...

Sampai disana kami istirahat sebentar, membeli beberapa barang yang masih kurang, dan packing ulang. Beberapa barang kami keluarkan dari carrier untuk ditenteng masuk kabin, karena ternyata maskapai yang akan kami gunakan –sebut saja Citylink- tidak menyediakan fasilitas bagasi free sedikitpun, sehingga barang yang masuk bagasi akan dikenakan charge. Daripada harus bayar lagi, kami memilih untuk menenteng barang-barang sebanyak yang mampu kami bawa masuk ke kabin. Dengan cara itupun ternyata biaya bagasi untuk seluruh tas kami masih mencapai hampir Rp500.000,- . Disana kami juga bertemu Wiwit alias Pak RT, anak STAPALA yang tinggal di Surabaya.  Dialah yang mengantar saya untuk membeli sandal gunung, sebagai ganti sandal saya yang ketinggalan di Jakarta, serta membeli beberapa barang keperluan lainnya.

Pak RT (paling kiri), Uhe, dan Ko Tepi sedang bersantai di rumah Mas Godel

Untuk urusan tiket pesawat, Hilman penanggungjawabnya. Dialah yang memesan tiket Surabaya – Mataram PP untuk kami semua. Tak ada satupun dari kami berlima yang ikut campur urusan tiket ini. Bahkan seperti apa wujud tiket itu, tak satupun dari kami yang pernah melihatnya, apalagi memegangnya. Hanya Hilman seorang lah yang tahu. Kami hanya bertanya tanggal dan jam keberangkatan pesawat, lalu mengingatkan agar tiket jangan sampai ketinggalan. Menurut dia, pesawat kami akan berangkat jam 7 malam. Mengingat dan menimbang reputasinya selama ini, kami semua percaya saja.

Sekitar jam 15.30 kami hampir selesai packing, hanya tinggal beberapa barang kecil saja yang belum masuk. Karena pesawat masih cukup lama, kami bersantai sejenak. Lalu dimulailah tragedi itu. Kejadian berawal ketika Mas Godel meminjam tiket pesawat dari Hilman untuk sekedar mengeceknya. Lalu dia bilang bahwa disitu tertulis take off jam 17.00 alias jam 5 sore, bukan jam 7. Awalnya kami semua menanggapi dengan santai: “yang bener Mas…! Salah lihat kali…” Kami semua pun melihat tiket itu, dan ternyata memang benar adanya. Pesawat memang take off pukul 17.00…!

Tanpa komando siapapun, kami pun langsung bergerak cepat. Semua barang segera dimasukkan tas. Mobil pinjaman pun diambil. Dalam perjalanan, temen Mas Godel yang mengantar kami masih menyempatkan diri mampir ke SPBU. Dengan santainya dia bilang “Tenang aja, masih keburu kok.” Kalau melihat jarum jam yang sudah lewat dari jam 4 sore, sulit untuk mempercayainya. Tapi kalau mempertimbangkan jarak ke Bandara yang dekat, serta kapasitas beliau yang memang setiap hari bertugas di dalam bandara, dengan berat hati kami percaya saja dan berusaha menenangkan diri.

Om Pilot... Tunggu kami...!

Sampai di Bandara, kami langsung berlarian menuju terminal keberangkatan. Untung saja Mas Godel, yang sudah berangkat duluan dengan motor, telah menyiapkan jalur khusus untuk kami yang jaraknya lebih dekat, yang sebenarnya bukan untuk umum. Sampai di tempat check in petugas mengatakan bahwa penumpang memang masih bisa masuk, tapi bagasi sudah ditutup. Kalau tidak bawa carrier, lebih baik kami tidak jadi berangkat, begitu pikir kami. Mau ngapain kami kesana? Tetapi lagi-lagi berkat bantuan Mas Godel, dengan menunjukkan kartu ajaib ditambah sedikit kemampuan negosiasi, petugas bagasi pun luluh juga. Akhirnya kami dan barang-barang kami semua bisa masuk pesawat dan terbang menuju Mataram.

Bersambung…

 
Leave a comment

Posted by on August 9, 2011 in Perjalanan

 

Cita-citaku: Jadi orang sukses

Saat kecil dulu, pernahkah anda ditanya tentang cita-cita anda kalau sudah dewasa kelak? Bisa dipastikan hampir semua orang pernah ditanyakan pertanyaan semacam ini. Guru, orang tua, dan keluarga lainnya suka sekali menanyakan pertanyaan ini. Formulir isian biodata atau identitas untuk anak-anak sering kali juga meminta anda memberitahukan cita-cita anda. Dan mungkin bagi anak-anak, pertanyaan tentang cita-cita adalah salah satu yang paling menyenangkan. Tetapi tidak bagi saya, karena saya selalu bingung menjawab apa.

Lalu apa jawaban anda?

Menjadi dokter, arsitek, pilot, tentara, polisi, pengusaha, atlet,artis atau bahkan presiden adalah jawaban yang akan menduduki peringkat tertinggi seandainya ada yang mau melakukan survey atas jawaban cita-cita masa kecil kita. Mungkin ada diantara anda yang mempunyai cita-cita lain, tetapi mungkin juga tidak banyak anak lain yang mempunyai cita-cita seperti anda. Kenapa profesi-profesi itu begitu disukai oleh anak-anak? Bisa jadi karena di mata anak-anak, orang-orang dengan profesi tersebut tampak begitu gagah, keren, berwibawa, dihormati dan disegani. Atau mungkin karena profesi-profesi itulah yang familiar bagi anak-anak.

Saya coba mengingat-ingat lagi apa jawaban saya dulu jika ditanya tentang cita-cita. Sepertinya jawaban saya tidak ada dalam daftar yang saya sebut di atas. Karena ternyata jawaban saya bukanlah sebuah profesi. Jawaban saya ternyata hanyalah ingin menjadi orang sukses. Ah, jawaban yang begitu sederhana. Jawaban yang menunjukkan bahwa pemiliknya tidak berani bermimpi tentang masa depannya, tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang ingin menjadi apa dia nanti. Jawaban yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang tidak berani mengambil risiko, orang yang “nrimo” menjadi apapun. Mungkin begitu kata ahli ilmu kejiwaan.

Pendapat itu ada benarnya juga. Cita-cita itu muncul karena dulu saya bingung mau memilih cita-cita yang mana. Padahal kita semua bebas memilih untuk menjadi apa. Tinggal memilih salah satu saja masih bingung juga.

Tetapi sekarang ternyata saya masih konsisten dengan cita-cita itu. Saya masih tetap ingin menjadi orang sukses. Bukan tanpa alasan itu terjadi. Bukan karena saya masih bingung ingin menjadi apa. Bukan pula karena saya pasrah dengan jalan hidup yang telah digariskan. Tetapi bagi saya sukses adalah sebuah cita-cita yang sangat tinggi dan mulia. Bahkan lebih tinggi daripada cita-cita menjadi presiden. Kenapa bisa begitu?

Ketika dulu saya bercita-cita menjadi orang sukses, yang ada dalam benak saya saat itu tentang sukses adalah jadi apa saja yang penting hidup enak. Hanya itu saja. Saat itu tak ada definisi yang jelas tentang apa itu sukses. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umur, tak sulit mencari definisi sukses dari berbagai versi. Tapi saya mencoba membuat definisi sendiri. Definisi yang juga menjadi indikator pencapaian cita-cita saya.

Dari hasil penerawangan, pemikiran, dan pergumulan batin yang saya jalani, saya mendefinisikan orang yang sukses itu adalah orang yang bisa bersyukur dan bermanfaat. Hanya sesederhana itu saja.

Bisa bersyukur artinya bisa menerima dengan ikhlas, lapang dada, tanpa ada penyesalan dan kekecewaan atas segala apapun yang telah diamanahkan Allah padanya, segala yang telah diraihnya, serta segala yang ada pada dirinya. Tak hanya bisa menerima, bersyukur juga berarti bisa memanfaatkan dan menggunakan segala sesuatu itu sesuai dengan peruntukannya, tetap memenuhi hak dan kewajibannya, sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan Nya. Jadi, untuk sukses anda tak harus banyak harta. Hidup pas-pasan pun bisa sukses. Untuk sukses anda tak harus punya jabatan tinggi. Pegawai rendah pun bisa sukses. Untuk sukses anda tak harus punya otak jenius, kecerdasan, dan rentetan gelar di belakang nama anda. Orang putus sekolah pun bisa sukses. Karena kesuksesan tidak diukur dari apa yang anda miliki atau anda capai, tetapi bagaimana anda menyikapi dan memanfaatkannya.

Bermanfaat adalah ketika apa yang ada pada anda tak hanya memberikan kesenangan dan kebahagiaan pada diri anda sendiri, tetapi juga memberikan kesenangan dan kebahagiaan pada orang lain, lingkungan, dan bahkan alam sekitar. Bermanfaat adalah ketika kehadiran anda begitu dinantikan dan disambut dengan senyuman. Bermanfaat adalah ketika kepergian anda ditangisi. Bermanfaat adalah ketika keberadaan anda bisa memperbaiki keadaan, bukan malah sebaliknya. Bermanfaat adalah ketika kisah hidup anda menjadi inspirasi. Bermanfaat adalah ketika orang-orang hanya sibuk membicarakan kebaikan anda, dan bingung ketika mencari kejelekan anda.

Dengan 2 kriteria itu, sukses bisa diraih siapapun. Sukses bukan milik golongan tertentu saja. Untuk sukses anda hanya perlu untuk bisa bersyukur dan menjadi manusia yang bermanfaat dimanapun. Sukses di dunia, dan sukses di akhirat tentunya.

Ah…ternyata jalan saya masih sangat panjang untuk menuju kesuksesan.

 
1 Comment

Posted by on August 3, 2011 in Uncategorized

 

3 kg beras, 1 liter minyak goreng, dan 5 bungkus mie instan

Suatu siang yang sangat panas di sebuah perkampungan di ujung utara kota Jakarta, wajah-wajah polos begitu bersemangat menyambut kedatangan sebuah mobil pick-up yang sarat muatan. Padahal anak-anak itu sudah menunggu berjam-jam di dalam masjid yang hanya disejukkan dengan sebuah kipas angin kecil. Tapi tak tampak wajah malas, putus asa, atau kelelahan. Entah apa yang membuat semangat mereka begitu membuncah. Mungkin salah satunya karena muatan yang dibawa mobil pick-up itu.

Sebuah kantong plastik yang hanya berisi 3 kg beras, 1 liter minyak goreng, dan 5 bungkus mie instan mungkin tak berarti apa-apa untuk sebagian dari kita. Kalau saya memberikannya kepada anda, mungkin anda juga tak akan mau menerimanya. Untuk apa? Toh di rumah anda pasti sudah berlimpah barang-barang itu, bahkan mungkin dengan kualitas yang jauh lebih baik.

Tapi bagi anak-anak itu, yang bagi mereka makan adalah suatu nikmat yang begitu berharga, apalagi makan 3 kali dalam sehari adalah sebuah kejadian luar biasa, kantong plastik itu tentu sangat berharga. Paling tidak untuk beberapa hari kedepan, bapak-bapak mereka tak perlu pusing memikirkan stok beras keluarga yang memang tak pernah banyak. Nikmatnya makan 3 kali sehari –walaupun hanya dengan lauk mie instan- dapat mereka rasakan lagi. Guru-guru mengaji mereka pun tak perlu lagi mendengar keluhan rasa lapar yang mereka ungkapkan dengan berbisik. Mungkin itulah yang membuat mereka begitu bersemangat menyambut kedatangan kami. Para anak laki-laki langsung berhamburan menurunkan bungkusan plastik itu dari atas mobil. Seolah bungkusan plastik itu adalah sebuah kantong ajaib yang akan menjadi jalan keluar dari segala permasalahan dan keterbatasan hidup yang mereka alami selama ini.

Anak-anak menurunkan paket dari mobil pick-up

Tapi itu hanya untuk beberapa hari kedepan. Setelah itu, entahlah… Mungkin mereka harus kembali berjuang menghadapi kerasnya kehidupan dengan perut lapar.

Tapi sesungguhnya keajaiban bagi saya adalah para sukarelawan guru mengaji itu. Kakak dan Bunda, begitu anak-anak memanggil mereka. Para pejuang itu rela menempuh perjalanan belasan bahkan mungkin puluhan kilometer dari rumah mereka, hanya untuk mendampingi anak-anak itu belajar mengaji, membaca, atau sekedar bermain. Jangan tanyakan soal gaji atau bayaran, sekedar mendapat ganti ongkos transport pun sudah sangat berarti bagi mereka. Karena seorang pengasuh yayasan itu bercerita bahwa beliau hanya mampu memberikan kompensasi sebesar 10.000,- Rupiah kepada setiap guru ngaji untuk sekali datang. Padahal rumah mereka juga tidak bisa dibilang dekat. Salah satunya ada yang tinggal di Kampung Rambutan. Dengan uang 10.000,- itu mungkin saya tak akan sanggup menempuh perjalanan pulang pergi ke tempat itu.

Sebuah bangunan berdinding kayu reot dan berlantai tanah berukuran tak lebih dari 8 x 3 meter menjadi basecamp mereka. Di situlah anak-anak bermain, belajar membaca, atau sekedar mendengarkan cerita dari kakak-kakak dan bunda-bunda mereka. Sedangkan sebuah bangunan lain yang terdiri dari 1 ruangan dan masih dalam proses pembangunan, akan menjadi sekolah mereka. Kusen dan beberapa bagian lain gedung sekolah itu adalah barang bekas, sumbangan dari warga sekitar, yang dibangun atas inisiatif mereka sendiri.

Basecamp

Seandainya kondisi ini saya temui di pedalaman Papua, di daerah-daerah terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, di pulau-pulau terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan perahu kecil, mungkin saya akan sangat maklum. Tapi ini Jakarta, pusat segala macam kemewahan, keindahan, dan kesenangan hidup. Pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat perekonomian. Istana negara juga hanya beberapa kilometer dari sana. Gedung-gedung dan bangungan-bangunan mewah juga langsung terlihat hanya beberapa saat setelah meninggalkan wilayah ini.

Sekolah yang masih dalam pembangunan

Kenapa semua itu bisa terjadi? Ah entahlah…

Saya hanya bisa berharap, semoga bungkusan-bungkusan kecil itu benar-benar bermanfaat bagi mereka. Semoga kedatangan kami bisa menjaga api semangat dan harapan di dada mereka tetap menyala. Semoga kepedulian kami membangkitkan kesadaran mereka, bahwa mereka tidak sendiri, bahwa di luar sana masih ada saudara-saudara mereka yang siap membantu mereka.

Semoga bungkusan kecil ini memberikan sedikit kebahgiaan dan semangat untuk mereka

 

Cilincing, 29 Juli 2011

 
4 Comments

Posted by on August 1, 2011 in Lain-lain, Perjalanan

 

Suporter vs Penonton

Timnas mau main di kandang

Penonton : “Nonton gak ya…”

Suporter   : “Harus nonton nih…”

Tiket susah didapat

Penonton : “Padahal mau nonton, tapi males ngantri tiket nya. Nitip dong…”

Suporter   : “Harus berangkat lebih pagi biar dapet tiket.”

Timnas main bagus

Penonton : “Ayo…kita pasti menang…!”

Suporter  : “Ayo…kita pasti menang…!”

Timnas bikin gol

Penonton : “Horreee…!”

Suporter  : “Horreee…!”

Gawang Timnas kebobolan

Penonton : “Kipernya Goblok…!” (lalu diam…)

Suporter  : “Ayo…balas…!”

Timnas tertekan dan diserang terus

Penonton : (diam….)

Suporter  : “Ayo…tetap semangat…kami mendukungmu…!”

Timnas menang

Penonton : “Timnas keren, gak rugi aku nonton langsung di stadion…!”

Suporter  : “Timnas luar biasa, pertandingan berikutnya kita pasti menang lagi.”

Timnas kalah

Penonton : “Sial… tau gini mending nonton di tv aja.”

Suporter  : “Kita sudah berusaha, pertandingan berikutnya harus lebih baik.”

Pemain bintang tampil buruk

Penonton : “Dasar bego, jelek banget mainnya…!”

Suporter  : “Ini bukan penampilan terbaiknya, tapi dia tetap pemain hebat.”

Timnas main di kandang lagi, setelah beberapa kali hasil buruk

Penonton : “Males nonton, timnas kalahan sih.”

Suporter  : “Harus nonton, timnas lagi butuh dukungan nih.”

 
Leave a comment

Posted by on July 30, 2011 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

Antara Solusi dan Masalah

Mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam sebuah kesempatan pernah berujar: “Jadilah solusi untuk Indonesia. Jika kalian tidak bisa menjadi solusi, jelas kalian hanya akan menambah masalah di negeri ini.”

Sebuah pesan filosofis yang sangat dalam dan penuh makna. Pesan yang hanya memberikan 2 pilihan pada kita: Menjadi solusi atau justru menambah masalah. Jadi, dimanapun kita berada, siapapun dan jadi apapun kita, apapun yang kita lakukan, selalu ada yang namanya konsekuensi. Konsekuensi untuk diri kita sendiri, konsekuensi untuk orang lain dan lingkungan, konsekuensi untuk bangsa dan negara. Dengan kata lain hanya ada hitam dan putih, tidak ada abu-abu.

Sebagai contoh, kemacetan yang sudah menjadi ritual wajib harian di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebagai pengguna jalan, jika kita tidak bisa memberikan solusi atas masalah kemacetan, berarti kita hanya memperburuk masalah kemacetan itu.

Ah, tapi itu pendapat Bu Sri Mulyani. Kalau pendapat saya, lain lagi ceritanya. Menurut saya, diantara 2 aliran itu –Jadi Solusi dan Menambah Masalah- masih ada titik tengah nya. Kaum Moderat kalau orang bilang. Apa maksudnya?

Begini, dari hasil perenungan dan penerawangan spiritual saya, tidak bisa menjadi solusi belum tentu akan menambah masalah. Bisa saja kita tidak menjadi solusi tapi juga tidak menambah masalah. Jadi bukan hanya hitam dan putih, masih ada abu-abu.

Agar lebih mudah dipahami, akan saya sajikan contoh-contoh nyata tindakan yang –menurut saya- masuk dalam kelompok abu-abu tersebut.

MASALAH

TINDAKAN SAYA

Kemacetan Bersepeda ke kantor
Polusi udara dari kendaraan bermotor Menggunakan sepeda sebagai alat transportasi alternatif
Pelanggaran lalu lintas Berhenti saat lampu merah, walaupun jalanan kosong, walaupun orang lain tetap melaju.
Antrian semrawut Tetap mengantri dengan tertib, walaupun orang lain tidak tertib.
Kebersihan Membuang sampah di tempat sampah. Jika tidak ada tempat sampah, bawa sampah sendiri sampai ketemu tempat sampah.
Suap dalam pelayanan kependudukan Mengajukan permohonan pembuatan KTP sesuai prosedur, walaupun harus menunggu selama 6 bulan.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lain tentunya. Saya yakin anda juga punya contoh tindakan nyata anda sendiri.

Menurut saya, tindakan-tindakan di atas bukanlah solusi atas permasalah yang ada. Tapi juga tidak menambah masalah yang sudah ada.

Masalah kemacetan di Jakarta tidak terselesaikan dengan saya bersepeda ke kantor. Tapi dengan bersepeda ke kantor, saya juga tidak memperparah kemacetan yang sudah ada. Kalau semua orang yang bermobil, atau semua orang yang bermotor, atau semua orang yang bermobil dan bermotor, beralih menjadi bersepeda ke tempat kerjanya masing-masing, mungkin itu baru bisa menjadi solusi masalah kemacetan di Jakarta.

Jadi, kalau kita belum bisa menjadi solusi, dan kita tidak mau hanya menambah masalah, kita masih punya pilihan lain, yaitu tidak menambah masalah yang sudah ada. Karena sudah terlalu banyak masalah dan kesemrawutan di negeri ini, tak perlulah kita menambahnya lagi…

 
Leave a comment

Posted by on July 28, 2011 in Lain-lain, Uneg-uneg

 

180 + km (Gowes Bintaro – Bandung via Jonggol)

“GILA….!”

Itulah komentar yang paling sering saya terima dari teman-teman ketika menceritakan perjalanan yang satu ini.

Yak, bersepeda Jakarta – Bandung (tepatnya Bintaro – Bandung) ternyata masih dianggap sesuatu yang gila oleh banyak orang. Padahal buat saya, ini belum apa-apa. Apalagi buat para aktivis sepeda kelas turing jarak jauh, jarak 180-an km tentu hanyalah satu etape dari puluhan etape yang biasa mereka tempuh.

Perjalanan ini berawal dari cerita beberapa teman yang telah melakukan turing sepeda Jakarta – Bandung, baik yang berhasil maupun yang gagal (baca: bersepeda nyambung bis atau angkot). Lalu saya pikir ini patut dicoba juga. Dari sini niat telah berubah menjadi tekad bulat.

Dimulailah persiapan….

#1           Mencari informasi tentang rute yang akan dilalui. Setelah bertanya kesana kemari akhirnya diputuskan untuk memilih rute Jonggol. Pertimbangan utama karena jalur ini relatif lebih sepi dibandingkan jalur lain.

#2           Mencari partner. Karena saya belum cukup “GILA” untuk touring sendirian, dan saya juga merasa kurang dapat menikmati perjalanan jika ikut rombongan besar, maka tim berisi 4 orang menjadi pilihan. Mereka adalah Dika a.k.a. Malingseng, Shavaat a.k.a. Uje, Ren Refli a.k.a. Grandong, dan saya sendiri. Semuanya anak STAPALA.

#3           Menyiapkan  perlengkapan. Perlengkapan utama tentu saja sepeda. Masalahnya, ternyata dari kami berempat, hanya 2 orang yang mempunyai sepeda, yaitu saya dan Malingseng. Tapi ini bukan soal, teman-teman STAPALA yang lain tak akan keberatan dipinjam sepedanya. Akhirnya didapatlah sepeda pinjaman dari Hilman dan Ko Tepi. Saya sendiri juga meminjam pannier Tope*k dari Anggi a.k.a. Gobbog.

#4           Persiapan fisik. Bersepeda ke kantor (yang lebih dikenal dengan b2w dan b2h) seminggu sekali dan CFD-an , yang sudah saya lakukan 3 bulan terakhir, sepertinya cukup. “Kalau rutin b2w sih kuat lah ke Bandung”, begitu kata Bang Iye, pemilik Toko Sepeda “RC Pro” sekaligus aktivis touring senior.

Sabtu, 18 Juli 2009 jam 6.30 pagi, berangkatlah kita berempat dari Kampus STAN Bintaro. Rute Bintaro – Simatupang – Cibubur kami tempuh dengan kecepatan sedang. Masuk Cibubur sekitar pukul 8.30 kami memutuskan untuk istirahat sekaligus mengisi bahan bakar. Ketupat sayur jadi menu pilihan kami pagi itu. Setelah perut terisi penuh, kami lanjutkan perjalanan. Karena tak satupun dari kami yang tahu jalan, maka penunjuk arah dan bertanya ke orang menjadi pemandu arah kami.

Sarapan ketupat sayur di Cibubur

Hari yang mulai panas menjadi tantangan terberat kami. Beruntung jalanan masih cenderung datar. Jarum jam menunjukkan pukul 10.30, ketika sebuah warung es kelapa muda di pinggir sawah menggoda kami untuk berhenti sejenak dan meneguk kesegarannya. Kami tak mau berlama-lama disitu. Sebelum rasa malas datang, kami segera melanjutkan perjalanan.

Masuk wilayah Kecamatan Cariu, tantangan berikutnya telah siap menyambut kami. Ya, jalanan kami rasakan tak lagi datar. Kayuhan pedal terasa semakin berat. Ditambah sengatan matahari yang semakin meninggi, membuat kami harus beberapa kali berhenti sejenak, sekedar untuk mengatur irama nafas dan membasahi tenggorokan.

Setelah panas dan tanjakan, kali ini ditambah lagi perut kami mulai keroncongan. Ternyata tangki bahan bakar kami memang sudah waktunya di refill. Setelah sholat dhuhur di Masjid Jami’ Nurul Iman (masih di Cariu), kami mencari warung makan. Disepakati lah warung makan pertama yang kami temui, menjadi tempat istirahat berikutnya.

Perut kenyang, kantuk datang...

Menu alakadarnya, telor dadar panas, sambel + lalapan, dan es teh manis kami lahap layaknya orang kelaparan yang sudah berhari-hari tidak makan. Pemilik warung sampai kelabakan melayani pesanan kami. Setelah perut kenyang, ternyata muncul masalah baru. Rasa malas dan kantuk menghinggapi. Tak mau terlalu memaksakan diri, akhirnya kami mencari masjid terdekat untuk sekedar merebahkan badan. Member kesempatan agar makanan tadi dikonversi menjadi energi, itulah pembelaan kami.

Setelah istirahat sejenak di sebuah masjid, kami lanjutkan perjalanan. Ternyata jalanan semakin tak bersahabat. Tanjakan terasa semakin curam. Kombinasi crank terkecil dan sprocket terbesar (baca: ngicik) pun harus saya gunakan. Bahkan di beberapa titik, dari kami berempat hanya saya sendiri yang masih bertahan di atas sadel. Sementara Malingseng, Uje, dan Grandong lebih memilih menuntun sepeda mereka. Hmmm… mungkin mereka kasihan dengan sepeda mereka yang tampak kepayahan dipaksa nanjak terus. Sedangkan saya sendiri berjanji akan tetap menggunakan sepeda sesuai peruntukannya, sampai tanjakan ini berakhir.

Bukan nyari tukang tambal ban lho...

Tak selamanya jalan itu nanjak, terkadang ada beberapa bonus turunan juga...

Walaupun kecepatan ngicik saya tak berbeda jauh dengan kecepatan orang jalan kaki, yaitu sekitar 6 kpj, tetapi saya masih bisa mempertahankan posisi di depan. Begitu melihat penjual pisang di pinggir jalan, tiba-tiba saya memutuskan untuk berhenti. Teman-teman di belakang ternyata juga mengamini. Beberapa butir pisang menjadi suntikan energi untuk melahap sisa tanjakan, yang katanya tinggal sedikit lagi.

Beli pisangnya minimal harus 1 sisir, tidak dijual terpisah

Beberapa saat kemudian, sampailah kami di sebuah tower BTS, yang ternyata adalah akhir dari tanjakan ini. Kami berhenti lagi untuk sekedar mensyukuri keberhasilan kami, sekaligus menyiapkan nyali untuk meluncur menyusuri turunan yang menunggu di depan. Langsung saja sepeda kami kayuh dengan kecepatan penuh. Hanya beberapa ratus meter kami mengayuh, selebihnya kami hanya berkonsentrasi untuk selalu siap menarik tuas rem. Cyclocomputer saya menunjukkan angka 60 kpj untuk max speed. Wow…. Susah saya ungkapkan bagaimana rasa dan sensasinya. Kalian harus mencobanya sendiri…!

Akhir tanjakan, saatnya meluncur...

Setelah berhenti untuk sholat ashar di sebuah masjid di daerah Cikalong, perjalanan kami lanjutkan lagi tanpa kesulitan berarti. Hari mulai gelap. Kami kembali berhenti untuk sholat maghrib di Polsek Cikalong. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sempat mencari informasi ke salah seorang polisi di situ. Mengikuti saran beliau, di persimpangan kami memilih jalur ke sebelah kanan. Ternyata jalanan itu benar-benar gelap. Rumah penduduk agak jarang, apalagi lampu jalan, tak ada satupun. Apalagi lampu depan saya sudah terjatuh dan hancur berkeping-keping saat terjatuh di turunan tadi siang. Untung teman-teman masih membawa lampu depan. Jadilah kita gowes gelap-gelapan. Alhamdulillah perjalanan berjalanan lancar, walaupun dengan kecepatan cukup pelan.

Akhirnya sampai juga kami di jalan raya Padalarang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.30 dan isi perut juga terasa sudah habis terkuras. Menu pecel lele khas Jawa Timuran menjadi makan malam yang luar biasa nikmat. Setelah perut kenyang, kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hari itu. Mencari tempat menginap yang aman dan nyaman adalah misi kami berikutnya. Ada 2 opsi tempat menginap, yaitu SPBU dan masjid. Setelah mempertimbangkan berbagai faktor, akhirnya kami memilih masjid Musa’adah sebagai tempat menginap kami. Beruntung penjaga masjid mengijinkan kami menginap. Dan ternyata banyak juga para musafir yang menginap di situ.

Sebelum subuh kami sudah bangun, karena jamaah sudah mulai ramai. Kami juga bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Setelah sholat subuh, mandi, dan sarapan, pukul 5.30 kami lanjutkan sisa perjalanan. Udara yang sejuk, badan yang segar, dan jalanan yang relatif masih datar membuat awal perjalanan terasa begitu nikmat. Beberapa kilometer kemudian, kami sudah masuk ke wilayah kabupaten Bandung Barat.

Semalam di Cianjur, siap melanjutkan sisa perjalanan

Selamat datang di Kabupaten Bandung

Berpose di atas sungai Citarum

Jarum jam menunjukkan pukul 8.00 ketika tanjakan Padalarang sudah siap menyambut kami beberapa ratus meter di depan. Sebelum melahapnya, sepertinya kami harus mengisi perut dulu. Kebetulan di kanan kiri jalan ada beberapa warung makan, walaupun sebagian besar masih belum buka. Akhirnya kami memilih warung “Barokah” untuk sarapan pagi itu. Ternyata sebagian masakan nya masih belum siap. Dengan sabar kami menunggu, dan makanan terasa lebih nikmat karena disajikan dalam kondisi panas, fresh from the oven.

Semoga penjual dan pembelinya selalu memperoleh barokah, sesuai nama warungnya,Amien...

Setelah perut kenyang, kami siapkan mental dan dengkul. “Sepertinya tanjakan kali ini tak seberat tanjakan Cariu kemarin”, mufakat kami untuk saling menghibur dan memotivasi diri sendiri. Bertemu beberapa pesepeda, baik yang searah maupun berlawanan arah dengan kami, cukup memberikan hiburan sepanjang perjalanan.

Lewat tebing Citatah, kami tak lupa berfoto-foto dan tentunya istirahat sejenak. Tempat itu tentunya tak asing bagi kami berempat, khususnya bagi Grandong yang memang menggeluti divisi Climbing di STAPALA. Setelah beberapa kali istirahat, pukul 10.30 kami masuk wilayah Cimahi. Rasanya kami sudah sampai tujuan, karena sekarang kami sudah masuk kota. Tak sampai 1 jam kemudian kami sudah masuk kota Bandung. Gedung Sate menjadi tujuan utama kami. Tentunya untuk berfoto-foto, sebagai bukti keberadaan kami di Kota Bandung.

Bukti otentik kami telah sampai di Bandung

Bandung cuy....

Setelah puas berfoto-foto dan minum es cendol, kami menuju ke masjid (lupa namanya) di sebelah gedung DPRD. Setelah mandi, sholat, dan minta tolong seorang teman untuk memesankan tiket kereta ke Jakarta, kami menuju ITB. Hanya sekedar untuk makan siang di sana. Setelah makan siang, kami langsung menuju stasiun Hall untuk pulang kembali ke Jakarta, karena misi kami hanyalah bersepeda sampai ke Bandung. Tak ada rencana untuk tamasya di sana, apalagi kembali ke Jakarta dengan bersepeda.

Sepeda lewat mana ya?

Kereta kami berangkat pukul 17.00 dengan kondisi yang cukup ramai. Soal tiket awalnya kami hanya membeli 1 tiket untuk masing-masing orang. Tapi kemudian petugas tiket minta kami juga membeli tiket untuk sepeda kami. Setelah negosiasi, akhirnya kami diijinkan membayar setengah harga untuk setiap sepeda kami. Agar lebih rapi dan tidak mengganggu penumpang lain, ban depan sepeda kami copot dan kami merelakan tempat duduk kami untuk menyimpan sepeda. Sedangkan kami memilih berdiri dan bersandar di tepi kursi.

Demi sepeda yang hanya bayar setengah harga, kami relakan tempat duduk kami

Sekitar pukul 20.30 kami sampai di stasiun Gambir. Setelah loading sepeda, kami melanjutkan perjalanan pulang. Di sini kami harus berpisah. Malingseng kembali ke kosan nya di daerah Cempaka Putih, sedang kami bertiga kembali ke Bintaro. Sekitar pukul 22.00 kami sampai di di kampus STAN Bintaro dengan selamat.

Gambir, minggu 19 Juli 2009 jam 20.30

Alhamdulillah…

Terima kasih teman, atas perjalanan luar biasa ini.

Kayuh terus sepeda kalian…

 
9 Comments

Posted by on June 24, 2011 in Perjalanan, Sepeda

 

0 km

Kata orang, yang paling susah dari sebuah pekerjaan adalah memulainya. Ah, yang satu itu memang susah. Tetapi buat saya ada yang lebih susah, dan mungkin inilah yang sebenarnya paling susah. Tahukah anda apakah itu? yap… benar sekali… jawabannya adalah Istiqomah alias Konsisten.

Bukan tanpa alasan saya bilang begitu. Salah satunya karena sudah beberapa kali saya mencoba membuat blog pribadi. Tak kurang dari 3 buah blog. Tapi jangan tanyakan kondisinya sekarang. Tragis mungkin adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkannya. Satu diantaranya, telah sukses menampilkan hanya 2 judul tulisan dan beberapa folder foto. Sedangkan dua lagi bahkan tak sempat merasakan posting apapun. Hanya desain tampilan yang sebenarnya juga tak bisa disebut layak untuk ditampilkan.

Jadi, bukan memulai yang susah, tapi istiqomah….

Setujukah anda?

Ah, itu terserah anda, bukan urusan saya untuk mendebatnya, hehe….

Tak mau mengulang kesalahan yang sama, untuk yang satu ini saya sudah membulatkan tekad untuk istiqomah. Doakan saya ya…!

Tak perlu berpanjang lebar, namanya juga baru awal. Bukankah memulai itu tak susah lagi sekarang? jadi buat apa panjang-panjang tulisannya?

Langsung saja, dengan mengucap Bismillaahirrohmaanirrohiim…. cerita perjalanan ini saya nyatakan dimulai dan terbuka untuk siapa saja.

Semoga bisa istiqomah dan bermanfaat.

 
1 Comment

Posted by on June 17, 2011 in Lain-lain, Uneg-uneg